Mabinogion Volume Dua Chapter 7


Musim hujan, meski hari itu masih pagi, Oase membawa payung agar bisa pergi ke sekolah. Tidak disangka, ketika Oase sedang jalan sendirian, seseorang menyapanya dari belakang.

“Tidak biasa, berpapasan denganmu saat berangkat sekolah, ini sungguh tidak biasa.” Oase melihat ke belakang, ternyata itu adalah Syanin dan Asty yang berjalan di belakangnya. Asty memayungi Syanin sehingga pundaknya basah sedikit akibat hujan. Tapi Syanin yang dipayungi terlihat sangat kering. Mungkin, satu-satunya yang basah bagi Syanin hanya sepatu hitamnya.

Oase menjawab sapaan ketus dari Syanin, “Seharusnya aku yang bilang begitu tuh. Kenapa kau yang biasanya naik mobil malah harus berjalan dengan payung? Itu malah lebih tidak biasa.”

“Musim hujan saat aku kelas tiga SMP hanya datang satu kali seumur hidup. Aku tidak ingin menghabiskan musim hujan di dalam mobil dan merasakan kering. Aku ingin setidaknya ada momen ketika aku berjalan di bawah payung. Atau momen ketika aku basah  kuyup akibat kehujanan. Puas dengan jawaban itu?”

“Jawabannya tidak terduga ….”

“Selain itu, bagaimana?” Syanin mengarahkan obrolan ke topik lain. Oase yang tidak paham hanya bisa bertanya, “Bagaimana, apanya?”

Syanin membuang nafas. Dia kemudian berkata dengan malas, “Aku khawatir dengan dirimu yang tidak peka seperti itu. Kenapa Nova mau berpacaran denganmu ya ….”

“Kau terlalu mempersulitnya saja. Aku mana paham dengan pertanyaan selain itu, bagaimana? Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang kau tanyakan dari kalimat itu. Oh iya, ini baru terpikirkan olehku. Kenapa kau bisa tahu kalau aku dan Nova berpacaran?” Oase menutup kalimatnya dengan bertanya. Ini memang bahaya kalau menanyakannya secara langsung. Tapi tindakan Oase masih lebih baik daripada berita ini tersebar.

“Ah, betapa bodohnya kau karena bertanya seperti itu meski sudah tahu hobi ku. Sudah jelas aku mencari tahu! Mencari tahu dalam artian, aku menelitinya.”

Jawaban frontal itu membuat Oase tidak bisa berkata-kata. Dia hanya bisa membatin, “Hobi itu membuatmu terlihat seperti penguntit!” Kalimat itu agak sensitif, makanya Oase hanya mengeluarkannya dalam hati. Tapi dalam kalimat lain, Oase bertanya, “Kenapa kau penasaran sampai sejauh itu?”

“Karena itu menyenangkan!”

“Jawabannya cepat sekali,” batin Oase sekali lagi setelah mendengar jawaban Syanin yang frontal. Obrolan singkat itu telah mencapai akhirnya karena mereka bertiga sudah sampai ke sekolah. Syanin menghentikan langkah, membuat Oase ikut berhenti dan memiringkan kepala tanda tanya.

“Aku tanya sekali lagi. Bagaimana? Kau sudah mengabari Nova, ‘kan?” Suasananya mendadak serius dengan dikeluarkannya pertanyaan itu. Oase yang panik hanya menggaruk pipi dan mengalihkan pandangan.

“A-ah … ba-bagaimana, ya ….” Oase merespon tidak jelas. Membuat Syanin kesal sampai dia bertanya sekali lagi. Kali ini dengan nada bicara meninggi, Syanin bertanya, “Jangan-jangan, kau tidak meneleponnya?”

“Te-tentu saja aku meneleponnya. Ta-tapi, karena membicarakan banyak hal, aku sampai lupa … maaf!” Oase saling menempelkan telapak tangannya, itu posisi tangan yang meminta maaf. Dia melanjutkan kalimatnya dengan berkata, “Akan aku beritahukan langsung sepulang sekolah nanti.”

“Pastikan jangan sampai lupa, dah!” Syanin dan Asty bergegas pergi meninggalkan Oase. Mereka memasuki gerbang saat Oase masih terdiam bingung di depan.

“Eh, kesannya seperti perpisahan meski kita akan masuk kelas bersama.”

_________________

Seperti ramalan, semua informasi dari Syanin benar-benar terjadi pagi itu. Pak Dhani membawa kotak besar dengan bantuan Reki sebagai ketua kelas. Isi kotak besar itu adalah mesin game VR MMO dan jumlahnya yang cukup untuk seisi kelas.

Semua murid diberikan mesin itu satu per satu. Seluruhnya riang dan gembira. Mereka sangat bersemangat ketika tahu kalau mesin game yang saat ini menjadi primadona sudah mereka miliki. Terkecuali, Syanin dan Oase. Mereka tampak waspada dan hanya diam di tengah sorak gembira seisi kelas.

Menyudahi sorak gembira itu, Pak Dhani kemudian berkata, “Kita akan menggunakan mesin game itu untuk keperluan pendidikan juga.” Ruang kelas mendadak hening ketika mendengarnya.

Mesin game dan kebutuhan pendidikan? Keduanya nampak seperti air dan minyak, tidak bisa disatukan. Itulah yang terbayangkan oleh seisi kelas termasuk Oase dan Syanin.

Pak Dhani kemudian duduk di meja guru. Dia memahami diamnya siswa adalah bentuk dari kebingungan mereka. Karena itu Pak Dhani mulai menjelaskannya. Penjelasan tentang mesin game itu dan hubungannya dengan sekolah, semuanya Pak Dhani jabarkan.

“Mesin Game VR MMO Dreamer adalah mesin game yang menjadikan bakat dan kecerdasan individu sebagai acuan. Intinya, seberapa kuat kalian di dunia game, itu ditentukan oleh kecerdasan dan bakat kalian di dunia nyata. Tentu saja, sekolah akan menilai hasil belajar kalian dari statistik kalian dalam dunia game. Jika statistik kalian tinggi, maka dapat dipastikan nilai kalian tinggi juga. Begitupun sebaliknya.”

Penjelasan umumnya mudah untuk dipahami. Tapi ada beberapa pertanyaan yang mungkin bisa menjawab kejanggalan dari penjelasan itu.

“Maksudnya, apakah kita harus banyak belajar materi akademik untuk menjadi kuat?” tanya Reki sambil mengangkat tangannya. Kemudian Pak Dhani menjawab, “Ya. Banyak belajar materi sekolah akan memperkuat statistik dan status kalian dalam dunia game. Materi sekolah yang Bapak maksud di sini adalah materi seperti matematika, IPA, sosial, bahasa, dan sejenisnya.”

Semua siswa nampak terkejut hingga terdiam. Apa yang terpikirkan di benak mereka saat ini adalah, “Mesin game bisa mendeteksi kecerdasan dan kemampuan akademik? Itu tidak masuk akal.” Harusnya itu memang hal yang tidak masuk akal, sama sekali tidak masuk akal.

“Lalu, bagaimana dengan ujiannya? Seperti ujian untuk kelulusan dan ujian lainnya.” Syanin kali ini bertanya dari tempat duduknya. Itu adalah pertanyaan yang sangat bagus, mengingat pemikiran Syanin yang selalu kritis, pertanyaan itu sudah menggambarkannya.

“Mesin ini belum disinkronisasi dengan sistem ujian nasional. Bisa dibilang, kita adalah sekolah pertama yang menyatukan mesin game dengan sistem sekolah. Mungkin, mesin game itu hanya akan digunakan untuk pemeringkatan setiap tahunnya.”

Sahl melirik ke arah Oase secara alami. Membuat Oase merasa risih sambil membatin, “Sahl benar-benar sensitif dengan kata pemeringkatan atau persaingan.”

Hujan mendadak deras. Sangat deras sampai suasananya menjadi bising. Pak Dhani diam, seisi kelas juga diam. Mereka menikmati suasana hujan. Suasana hujan yang gelap di pagi hari. Suasana hujan yang dingin di pagi hari.

“Ah, hari ini hujan. Karena suasananya jadi bising, kita tidak mungkin bisa belajar nih,” kata Pak Dhani nampak kecewa. Tapi, itu terlihat seperti Pak Dhani yang mencari-cari alasan untuk tidak mengajar.

“Yah, kita bebas saja untuk hari ini. Bapak akan memberi kalian tugas beberapa soal. Setelah selesai, kalian bebas sampai waktu pulang. Tapi tidak boleh pulang saat jam pelajaran loh ya. Pulanglah saat waktu pulang, kalian hanya bebas dalam artian tidak belajar meski di sekolah.”

Pak Dhani mengatakan itu dan keluar dari kelas. Suasana semakin bising setelah Pak Dhani keluar. Semua berbicara dengan lawan bicara mereka masing-masing.

Lalu, karena Nova masih dispensasi, Lifah berakhir duduk sendirian di tempatnya. Oase yang merasa khawatir mencoba untuk menyapanya dengan berkata, “Li-Lifah?”

“Ah! Aku sangat ingin main hujan!” kata Lifah semangat sambil membalikkan kursinya ke arah belakang. Dia menghadapkan posisi duduknya ke arah Oase dan Reki.

Oase sepertinya terlalu khawatir. Lifah nampak tidak sedih atau memikirkan Nova sama sekali. Satu-satunya yang membuat dia terlihat sedih adalah karena dia ingin mandi hujan saat ini juga.

“Ma-mandi hujan, kenapa?” tanya Oase dipaksakan untuk melanjutkan topik. Lagi-lagi Lifah menjawab dengan semangat, “Habisnya itu seru bukan! Oase, mau tahu tentang apa yang dipikirkan beberapa orang saat ini?”

“Yang beberapa orang pikirkan? Apa maksudnya?” Oase malah bertanya balik sebagai tanggapan dari pertanyaan Lifah. Lifah kemudian berkata, “Seperti … Syanin yang berkata dalam hatinya kalau dia sangat ingin main hujan saat masih berseragam. Atau, Reki yang membatin kalau dia ingin mencuci sepeda motornya di bawah hujan. Termasuk, kau yang tadi sedang memikirkan aku dan mengira kalau aku kesepian karena tidak ada Nova.”

“Ha-hah! A-aku tidak sedang memikirkan dirimu atau Nova sih. Lagian, apa-apaan kepekaan itu! Memangnya kau cenayang?” Oase tidak bisa berhenti terkejut ketika tahu kalau semua pikirannya terbaca oleh Lifah. Seperti tidak masuk akal kalau semua ini adalah kepekaannya sendiri.

Reki juga merespon, “Kepekaan Lifah memang tidak pernah salah tuh. Barusan sekali aku berpikir kalau seharusnya aku membawa motor ke sekolah. Aku jadi bisa mencucinya di bawah hujan karena kelas sedang kosong saat ini. Tapi kira-kira, apa yang Nova pikirkan tentang hujan ya?”

Lifah menjawab spontan, “Yah, kalau Nova sih mustahil ingin main hujan. Tubuhnya lemah dan dia sangat rentan untuk sakit jika terkena hujan.” Lifah berkata seakan-akan dia tahu semuanya.

Oase merasa kalau dia tidak bisa asal memikirkan sesuatu di dekat Lifah. Karena di luar dugaan, semua isi pikiran seperti dapat Lifah baca. Lifah dia bilang itu hanya kepekaannya saja, membuat Oase merasa kalau itu tidak masuk akal.

MUSIM HUJAN SAAT AKU KELAS TIGA SMP


Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai