Oase berniat masuk ke kelas pagi itu. Ketika ia melewati lorong lantai empat yang terasa sangat panjang dan tidak berujung, Oase mendapati Hani yang tengah gelisah di depan pintu kelas. Oase menyapa, “Ha-Hani? Apa yang ….” Belum selesai menyapa, bibir Oase tertahan kuat oleh telapak tangan Hani yang menekan.
“Ssssttt ….” Dia memberi isyarat untuk jangan berisik. Sementara tangan kanannya menahan mulut Oase agar tidak bersuara, Oase melihat tangan kiri Hani yang tampak disembunyikan di belakang punggung. Itu adalah tangan yang menggenggam rasa gugup.
Beralih dari tangan kiri Hani, pandangan Oase menangkap ruang kelas. Tidak ada siapa pun kecuali Sahl yang tengah membaca buku di dalamnya. Oase membatin tanya, “Eh, kemana Syanin dan Asty?” Pikir Oase, seharusnya mereka sudah sampai ke kelas lebih dulu.
Setelah Oase dikira bisa diam, Hani melepaskan tangannya dan membiarkan Oase bernafas. Dia berkata pelan, “Bisakah kau menunggu untuk masuk kelas?” Oase yang belum mengerti hanya bisa merespon, “Kenapa?”
Wajah Hani menjadi merah seperti tersipu malu. Dia nampak berat untuk bicara, tapi tetap mengeluarkan kalimatnya meski terpaksa. Hani berkata, “Aku akan menyatakan perasaanku pada Sahl, pagi ini. Jadi sampai aku selesai, bisa kau tunggu di luar?”
“Ah, uh … ba-baiklah. Aku akan menunggu di kursi lorong. Se-semoga berhasil,” respon Oase pelan karena berbisik. Oase kemudian pergi menjauhi kelas. Tapi sebelum itu, Hani menahan Oase sebentar. Dia berkata, “Kalau bisa, tahan siapa pun yang akan datang. Kalau ada yang masuk sebelum aku selesai, kau aku bunuh.”
“He? Ka-kau bercanda?” tanya Oase panik. Tapi Hani menjawab dengan singkat, “Aku serius, sekarang pergi.” Oase tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Oase pergi menjauh dan duduk di kursi lorong. Dia berniat menahan siapa saja yang sekiranya akan masuk ke kelas.
Oase sedikit heran ketika melihat Hani dari kejauhan. Biasanya, Oase adalah siswa yang datang paling pagi setiap hari. Entah siapa yang kedua atau yang ketiga, Oase tidak terlalu memperhatikan. Syanin sendiri baru sering datang pagi belakangan ini. Kalau Hani dan Sahl bisa sampai lebih dulu dari Oase, hanya ada satu hal yang bisa disimpulkan.
“Mereka sudah berjanjian,” batin Oase membuat kesimpulan.
Oase terus melihat Hani dari kejauhan. Sudah lima menit sejak Oase pergi, tapi Hani belum membuat kemajuan sama sekali. Dia belum cukup berani untuk masuk kelas dan menyatakan perasaannya pada Sahl. Kalau ditinjau dari pengalaman, siswa kedua seharusnya mulai datang saat jam 06.15.
Ketika Oase melihat jam di dinding, ini sudah pukul enam lewat sepuluh. Oase membatin, “Pagi hariku yang tenang sudah direnggut oleh kisah cinta mereka. Selain itu, sampai kapan kau akan mengumpulkan keberanian?”
Maksud pemikiran itu adalah Hani hanya punya waktu yang sangat singkat dalam kesempatan ini. Jika Hani membuang percuma kesempatan ini, maka kesempatan kedua tidak akan pernah datang. Lain kasusnya jika Hani siap mencari momen lain untuk menyatakan perasaannya.
“Benar … kenapa Hani tidak menyatakan perasaannya sepulang sekolah? Itu seperti di film drama, ‘kan?” Oase sekali lagi membatin untuk mengisi rasa bosannya. Ketika ia tenggelam dalam pikirannya, Syanin dan Asty terlihat sedang menaiki tangga.
Oase menyambut kedatangan mereka dari atas. Oase berkata, “Ki-kita ketemu lagi, ya?” Syanin terlihat kebingungan dan pandangannya menggambarkan intimidasi. Dia bertanya, “Sedang apa kau?”
“Ah, um … aku menunggu di sini sampai seseorang selesai menyatakan perasaannya di kelas. Kalian juga sebaiknya tunggu saja, ya?” Oase mencoba membujuk mereka dengan kalimat persuasi. Tapi bagi Syanin, itu adalah kalimat ajakan paling buruk yang pernah ia dengar. Syanin bertanya, “Kau sehat?”
“Aku serius! Lihat di sana, sudah sepuluh menit sejak aku menunggu mereka tapi tidak ada kemajuan sama sekali. Hani tidak cukup berani untuk menyatakan perasaannya pada Sahl. Padahal Sahl sudah menunggunya di dalam kelas. Kalau itu diteruskan maka sekolah akan semakin ramai dan Hani tidak punya kesempatan.” Oase mengeluarkan semua kalimat yang sekiranya bisa menghentikan Syanin untuk masuk kelas.
Syanin melirik ke arah Hani yang posisinya cukup jauh dari tempatnya, dia mengernyitkan alis, lalu tampak seperti memutuskan sesuatu. Syanin seperti berkata dalam hatinya, “Ini buang-buang waktu.” Dia kemudian berjalan mengabaikan Oase, niatnya adalah untuk masuk ke kelas. Tentu saja, Asty mengikuti langkahnya dari belakang.
Langkah Syanin semakin mendekati kelas seiring waktu. Ketika dia sudah semakin dekat, keberadaannya bisa disadari oleh Hani. Hani terlihat gelisah dan memberikan kode lewat mata sebagai peringatan agar Syanin tidak mendekat. Tapi Syanin mengabaikannya dan tetap berjalan untuk masuk ke dalam kelas.
Ketika Syanin sudah benar-benar masuk ke dalam kelas, dia berkata, “Sahl, aku menyukaimu, jadilah pacarku.” Tidak ada ekspresi lain kecuali membatu terkejut bagi Hani. Oase sendiri tidak bisa mendengarnya karena posisinya lumayan jauh dari kelas. Tapi dari raut wajah Hani, Oase bisa tahu. Hani sedang terpukul dan marah.
Sahl yang sedang membaca buku sampai terkejut. Dia memiringkan kepala sambil berkata, “Eh?” Dia benar-benar bingung dan tidak mengerti. Sementara Syanin lanjut berkata, “Aku ulangi, aku menyukaimu. Jadilah pacarku.”
“Eh? Ah, Syanin?” Sahl benar-benar kebingungan. Dia belum pernah menghadapi situasi ini sebelumnya. Berbeda dengan menyelesaikan masalah dalam soal, Sahl terlihat tidak berpengalaman dalam masalah ini.
Dengan perasaan marah, Hani menyusul masuk ke dalam kelas sambil berteriak, “Aku juga suka padamu, Sahl!!! Jadilah pacarku!” Sahl semakin bingung dan lemas dibuatnya. Dalam batinnya Sahl bertanya, “Apa yang sedang terjadi?”
Itu adalah kebingungan yang wajar bagi Sahl. Didatangi dua gadis yang masing-masing dari mereka menyatakan rasa sukanya pada Sahl secara bersamaan. Sahl tidak tahu kalau ternyata, ada situasi yang lebih sulit daripada soal masuk universitas.
Sementara itu dari perspektif Syanin, dia seperti telah menyelesaikan tujuannya pagi ini. Melihat Hani yang berhasil menyatakan perasaannya pada Sahl, Syanin tersenyum kecil dan melipat tangan. Dia kemudian berkata, “Maaf, aku tidak serius. Aku hanya bohong soal suka padamu. Tapi Hani serius, jadi sebaiknya, berikan jawabanmu ya, Sahl. Aku beri waktu tiga menit untuk menyelesaikan masalah kalian.”
Syanin dan Asty kemudian keluar dari kelas tepat setelah itu. Dia berpapasan dengan Oase yang baru saja sampai ke depan pintu kelas. Oase bertanya, “Apa yang terjadi?” Sementara Syanin menjawab, “Kita tunggu saja di luar.”
“Ah, uh, baiklah,” respon Oase menurut dan pergi menjauhi kelas. Sambil pergi menjauh dari kelas, Oase masih sangat penasaran dengan kejadian itu. Dia hanya bisa melihat Syanin menerobos masuk kemudian Hani mengejarnya dari belakang.
Dia masih bertanya-tanya tentang apa yang Syanin lakukan. Tapi meski Oase menanyakan itu, Syanin tidak ingin menjawabnya dan tetap pergi menjauh dari kelas.
Akhirnya Aku Mengatakannya!