Mabinogion Volume 2 Chapter 10

Oase masih bertanya-tanya tentang apa yang Syanin lakukan barusan. Dari sudut pandang Oase, dia hanya melihat Syanin menerobos masuk ke dalam kelas. Kemudian, Oase juga melihat Hani yang nampak marah sampai mengejar Syanin ke dalam kelas.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Oase penasaran sambil berjalan menjauhi kelas. Sementara Syanin menjawab, “Hanya melakukan sesuatu agar mereka tidak buang-buang waktu.”

Jawaban Syanin adalah jawaban yang mengecewakan. Itu memang jawaban yang benar, tapi bukan itu jawaban yang Oase inginkan. Namun, Oase tidak peduli. Dia mencoba untuk tidak memikirkannya. Lagian, yang Oase pikirkan adalah, “Semoga masalah mereka selesai dan aku bisa bersantai di pagi hari.”

_____________

Ruang kelas masih terlalu luas untuk Sahl dan Hani. Meski mereka hanya berdua di dalam kelas, meski hari itu masih pagi dan sepi, mereka terlalu canggung untuk saling menatap satu sama lain. Mereka membatin dalam hatinya masing-masing dan tidak cukup berani untuk bicara secara langsung.

Hani membatin, “Apa yang harus kukatakan selanjutnya? Sepertinya aku berharap untuk mati saja daripada situasi ini berlanjut. Oase pasti kubunuh, tapi aku juga tidak marah dengan kedatangan Syanin.”

Sementara Sahl membatin, “Soal masuk universitas masih lebih mudah daripada menghadapi pernyataan cinta seseorang. Dalam situasi ini, apa yang sebaiknya aku lakukan?”

Mereka terus berhadapan meski terlalu gugup untuk bicara. Sesekali mencuri pandang, kemudian mengalihkan pandangan saat mereka saling tatap secara tidak sengaja. Itu adalah pandangan yang menggemaskan ketika anak SMP malu-malu karena saling tatap. Benar-benar menggambarkan masa muda.

Matahari semakin meninggi. Bersamaan dengan itu, cahaya semakin terang sampai merambat masuk ke dalam kelas. Hani menyadari itu dan berpikir kalau dia tidak punya banyak waktu. Karena itu, Hani memberanikan diri. Dia berkata, “Ba-bagaimana, jawabanmu?” Hani bertanya gugup sambil menunduk. Dia tidak mampu untuk menatap Sahl saking malunya dan jantungnya berdetak kencang sampai dia merasa lemas.

Sahl menarik nafas, kemudian ia membuang nafasnya untuk meraih ketenangan. Meski ini pengalaman pertamanya, Sahl terlihat bisa mengatasinya dengan beberapa tindakan. Dia menarik nafas dan membuang nafas untuk menenangkan diri. Kemudian Sahl mendekati Hani agar dia tidak perlu bersuara keras saat mengatakannya.

Sahl berkata, “Aku mengincar SMA terbaik di negeri ini. Kalau kau berhasil masuk ke SMA yang sama denganku, ma-mari kita teruskan. Ta-tapi, setidaknya, untuk saat ini, apakah mau belajar bersama?” Selaras ketika Sahl menawarkan ajakan itu, cahaya mentari sudah merambat sepenuhnya dan menerangi seisi kelas. Hani sendiri sudah merasa lega karena berhasil memuntahkan racun di hatinya.

Cinta pertama adalah racun. Ketika kau berhasil memuntahkannya, racun itu akan keluar dari tubuhmu dan kau akan merasa lega. Hani merasakan itu saat ini. Terlebih lagi, jawaban Sahl juga terdengar melegakan meski tidak sesuai harapan. Karena itulah, pagi itu ketika suasana sedang sangat canggung dan gugup, Hani merasa sangat sehat.

AKHIRNYA AKU MENGATAKANNYA!

____________


“Kegiatan kita hari ini, kita akan main game!” Pak Dhani terlihat sangat bersemangat di depan kelas. Sambil menunjukkan mesin game yang ia pegang, dia memberi arahan tentang kegiatan kelas hari ini.

“Singkatnya, kalian harus menyadari potensi diri masing-masing di dalam dunia game. Potensi kalian itu bisa mencakup bakat, keahlian, kecerdasan, dan pemikiran. Nantinya, setelah mesin game mengidentifikasi diri kalian, sistem akan merekomendasikan beberapa skill dasar dan atribut dasar kalian di dalam game. Sampai saat itu, tentukan skill dan atribut yang paling cocok bagi kalian. Tentu saja, jangan lupa buat laporannya secara tertulis dan itu dikumpulkan sebelum jam pulang.”

Syanin mengangkat tangan dan bertanya, “Apakah kami boleh menggunakan mesin yang kami beli sendiri?” Kemudian Pak Dhani menjawab, “Boleh. Gunakan mesin yang mana saja sesuka kalian. Pindah-pindah mesin juga tidak masalah karena data akun akan otomatis sinkron ketika kalian diidentifikasi oleh mesin. Ada pertanyaan lagi?”

Oase mengangkat tangan dan bertanya, “Bolehkah saya langsung menuliskan laporannya? Saya sudah memainkan game ini selama satu bulan dan cukup paham tentang diri saya sendiri.” Mendengar itu, Pak Dhani menjawab, “Tidak masalah. Tapi, bukankah seru jika kalian bisa bermain bersama? Kalian bisa saja membuat room untuk bertemu di dalam dunia game dan bercengkrama di dalamnya.

Oase terdiam sejenak, dia tidak memikirkan hal itu sebelumnya. Dengan mulutnya ia berkata, “Baik, Pak.” Sementara dalam hatinya Oase membatin, “Itu tidak terpikirkan olehku!”

Pak Dhani kemudian meninggalkan kelas, dia membiarkan siswanya untuk mandiri dan bebas bereksplorasi terhadap mesin game. Mesin game itu berwujud seperti helm yang sangat kecil. Saking kecilnya, hanya cukup untuk menutupi tempurung kepala dan kedua mata.

Merasa kalau Oase lebih paham darinya, Reki bertanya, “Bagaimana caranya login dengan mesin ini?” Sambil memakaikan mesin ke kepala Reki, Oase menjawab, “Gunakan helmnya kemudian tekan tombol yang ada di samping kanan.”

Demonstrasi itu diperhatikan oleh Lifah yang duduk di depan mereka. Sambil menyimak demonstrasi itu, Lifah bertanya, “Apa yang selanjutnya akan terjadi pada Reki?”

Oase menjawab, “Reki akan seperti orang tidur dan jika sudah seperti itu, Reki sudah berada di dalam dunia game.” Lifah mengangguk paham dengan ekspresinya yang serius. Dia terlihat bisa menyimpulkan penjelasan Oase dengan berkata, “Berarti, login dianggap berhasil jika penggunanya sudah seperti orang tidur?” Oase menjawab, “Ya.”

Lifah kemudian menggunakan mesin itu untuk dirinya sendiri. Dia mengenakan helmnya dan menekan tombol yang ada di samping kanan helm. Tepat setelah Lifah menekannya, dia berkata, “Wah, kepalaku terasa bergetar. Mungkin aku akan segera masuk?”

“Jangan banyak bicara dan buat dirimu rileks!” Oase memberi arahan karena tindakan Lifah akan mengganggu jalannya proses identifikasi. Tak lama kemudian, Lifah menjadi diam dan terlihat seperti orang tidur. Semua orang di kelas juga perlahan menjadi diam karena telah mengenakan helm. Suasananya menjadi sangat hening karena seisi kelas terlihat seperti orang yang tertidur.

Oase menyusul mereka dengan mengenakan mesin virtual untuk dirinya. Tentu saja, dia tidak melupakan peringatan Syanin tentang jangan menggunakan mesin pemberian sekolah. Dia mengenakan mesin pemberian Nova dan masuk ke dalam dunia game. Tepat setelah Oase masuk, dia mendapatkan notifikasi.

<PAK DHANI MENGUNDANG ANDA UNTUK BERGABUNG KE DALAM ROOM KELAS III.A>

[GABUNG] [ABAIKAN] [TOLAK]

Oase menekan tombol gabung dan dia dipindahkan ke sebuah ruangan. Layaknya teleportasi, Oase mendadak pindah ke dalam ruangan yang terlihat seperti ruangan guild. Ruangan guild terlihat sangat kosong. Hanya ada Pak Dhani dan Sahl yang berhasil dia temukan.

Oase bertanya, “Kemana yang lain?” Sementara Sahl menjawab, “Mereka masih menyelesaikan prosedur pendaftaran. Kita sampai lebih dulu karena tidak perlu mendaftar ulang sebagai pemain lama.” Oase mengangguk paham atas penjelasan Sahl.

“Kalian sudah login?” tanya Pak Dhani bersemangat dari dekat papan guild. Penampilan Pak Dhani 100% berubah dari sebelumnya. Dia yang awalnya mengenakan seragam guru, kini mengenakan pakaian guild dengan logo SMP Aiglon di bagian dadanya.

Oase membatin, “Ah, ternyata Pak Dhani juga login meski tidak melakukannya di dalam kelas.” Termasuk Pak Dhani, pakaian Oase dan Sahl juga telah berubah sepenuhnya. Mereka yang awalnya mengenakan seragam, kini mengenakan kostum mereka masing-masing di dalam dunia game.

Ketika Oase memperhatikan seisi ruangan guild yang terkesan klasik, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Orang itu menyapa, “Yo, Oase. Sepertinya, sistem pembelajaran ini cukup menguntungkan bagiku. Atau mungkin, menguntungkan juga bagimu?”

Suara gadis yang sangat tidak asing bagi Oase. Oase menoleh ke belakang dan dan bertanya memastikan, “No-Nova?” Gadis yang dipanggil Nova itu hanya mengangguk senyum.

Mabinogion Volume 2 Chapter 9


Oase berniat masuk ke kelas pagi itu. Ketika ia melewati lorong lantai empat yang terasa sangat panjang dan tidak berujung, Oase mendapati Hani yang tengah gelisah di depan pintu kelas. Oase menyapa, “Ha-Hani? Apa yang ….” Belum selesai menyapa, bibir Oase tertahan kuat oleh telapak tangan Hani yang menekan.

“Ssssttt ….” Dia memberi isyarat untuk jangan berisik. Sementara tangan kanannya menahan mulut Oase agar tidak bersuara, Oase melihat tangan kiri Hani yang tampak disembunyikan di belakang punggung. Itu adalah tangan yang menggenggam rasa gugup.

Beralih dari tangan kiri Hani, pandangan Oase menangkap ruang kelas. Tidak ada siapa pun kecuali Sahl yang tengah membaca buku di dalamnya. Oase membatin tanya, “Eh, kemana Syanin dan Asty?” Pikir Oase, seharusnya mereka sudah sampai ke kelas lebih dulu.

Setelah Oase dikira bisa diam, Hani melepaskan tangannya dan membiarkan Oase bernafas. Dia berkata pelan, “Bisakah kau menunggu untuk masuk kelas?” Oase yang belum mengerti hanya bisa merespon, “Kenapa?”

Wajah Hani menjadi merah seperti tersipu malu. Dia nampak berat untuk bicara, tapi tetap mengeluarkan kalimatnya meski terpaksa. Hani berkata, “Aku akan menyatakan perasaanku pada Sahl, pagi ini. Jadi sampai aku selesai, bisa kau tunggu di luar?”

“Ah, uh … ba-baiklah. Aku akan menunggu di kursi lorong. Se-semoga berhasil,” respon Oase pelan karena berbisik. Oase kemudian pergi menjauhi kelas. Tapi sebelum itu, Hani menahan Oase sebentar. Dia berkata, “Kalau bisa, tahan siapa pun yang akan datang. Kalau ada yang masuk sebelum aku selesai, kau aku bunuh.”

“He? Ka-kau bercanda?” tanya Oase panik. Tapi Hani menjawab dengan singkat, “Aku serius, sekarang pergi.” Oase tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Oase pergi menjauh dan duduk di kursi lorong. Dia berniat menahan siapa saja yang sekiranya akan masuk ke kelas.

Oase sedikit heran ketika melihat Hani dari kejauhan. Biasanya, Oase adalah siswa yang datang paling pagi setiap hari. Entah siapa yang kedua atau yang ketiga, Oase tidak terlalu memperhatikan. Syanin sendiri baru sering datang pagi belakangan ini. Kalau Hani dan Sahl bisa sampai lebih dulu dari Oase, hanya ada satu hal yang bisa disimpulkan.

“Mereka sudah berjanjian,” batin Oase membuat kesimpulan.

Oase terus melihat Hani dari kejauhan. Sudah lima menit sejak Oase pergi, tapi Hani belum membuat kemajuan sama sekali. Dia belum cukup berani untuk masuk kelas dan menyatakan perasaannya pada Sahl. Kalau ditinjau dari pengalaman, siswa kedua seharusnya mulai datang saat jam 06.15.

Ketika Oase melihat jam di dinding, ini sudah pukul enam lewat sepuluh. Oase membatin, “Pagi hariku yang tenang sudah direnggut oleh kisah cinta mereka. Selain itu, sampai kapan kau akan mengumpulkan keberanian?”

Maksud pemikiran itu adalah Hani hanya punya waktu yang sangat singkat dalam kesempatan ini. Jika Hani membuang percuma kesempatan ini, maka kesempatan kedua tidak akan pernah datang. Lain kasusnya jika Hani siap mencari momen lain untuk menyatakan perasaannya.

“Benar … kenapa Hani tidak menyatakan perasaannya sepulang sekolah? Itu seperti di film drama, ‘kan?” Oase sekali lagi membatin untuk mengisi rasa bosannya. Ketika ia tenggelam dalam pikirannya, Syanin dan Asty terlihat sedang menaiki tangga.

Oase menyambut kedatangan mereka dari atas. Oase berkata, “Ki-kita ketemu lagi, ya?” Syanin terlihat kebingungan dan pandangannya menggambarkan intimidasi. Dia bertanya, “Sedang apa kau?”

“Ah, um … aku menunggu di sini sampai seseorang selesai menyatakan perasaannya di kelas. Kalian juga sebaiknya tunggu saja, ya?” Oase mencoba membujuk mereka dengan kalimat persuasi. Tapi bagi Syanin, itu adalah kalimat ajakan paling buruk yang pernah ia dengar. Syanin bertanya, “Kau sehat?”

“Aku serius! Lihat di sana, sudah sepuluh menit sejak aku menunggu mereka tapi tidak ada kemajuan sama sekali. Hani tidak cukup berani untuk menyatakan perasaannya pada Sahl. Padahal Sahl sudah menunggunya di dalam kelas. Kalau itu diteruskan maka sekolah akan semakin ramai dan Hani tidak punya kesempatan.” Oase mengeluarkan semua kalimat yang sekiranya bisa menghentikan Syanin untuk masuk kelas.

Syanin melirik ke arah Hani yang posisinya cukup jauh dari tempatnya, dia mengernyitkan alis, lalu tampak seperti memutuskan sesuatu. Syanin seperti berkata dalam hatinya, “Ini buang-buang waktu.” Dia kemudian berjalan mengabaikan Oase, niatnya adalah untuk masuk ke kelas. Tentu saja, Asty mengikuti langkahnya dari belakang.

Langkah Syanin semakin mendekati kelas seiring waktu. Ketika dia sudah semakin dekat, keberadaannya bisa disadari oleh Hani. Hani terlihat gelisah dan memberikan kode lewat mata sebagai peringatan agar Syanin tidak mendekat. Tapi Syanin mengabaikannya dan tetap berjalan untuk masuk ke dalam kelas.

Ketika Syanin sudah benar-benar masuk ke dalam kelas, dia berkata, “Sahl, aku menyukaimu, jadilah pacarku.” Tidak ada ekspresi lain kecuali membatu terkejut bagi Hani. Oase sendiri tidak bisa mendengarnya karena posisinya lumayan jauh dari kelas. Tapi dari raut wajah Hani, Oase bisa tahu. Hani sedang terpukul dan marah.

Sahl yang sedang membaca buku sampai terkejut. Dia memiringkan kepala sambil berkata, “Eh?” Dia benar-benar bingung dan tidak mengerti. Sementara Syanin lanjut berkata, “Aku ulangi, aku menyukaimu. Jadilah pacarku.”

“Eh? Ah, Syanin?” Sahl benar-benar kebingungan. Dia belum pernah menghadapi situasi ini sebelumnya. Berbeda dengan menyelesaikan masalah dalam soal, Sahl terlihat tidak berpengalaman dalam masalah ini.

Dengan perasaan marah, Hani menyusul masuk ke dalam kelas sambil berteriak, “Aku juga suka padamu, Sahl!!! Jadilah pacarku!” Sahl semakin bingung dan lemas dibuatnya. Dalam batinnya Sahl bertanya, “Apa yang sedang terjadi?”

Itu adalah kebingungan yang wajar bagi Sahl. Didatangi dua gadis yang masing-masing dari mereka menyatakan rasa sukanya pada Sahl secara bersamaan. Sahl tidak tahu kalau ternyata, ada situasi yang lebih sulit daripada soal masuk universitas.

Sementara itu dari perspektif Syanin, dia seperti telah menyelesaikan tujuannya pagi ini. Melihat Hani yang berhasil menyatakan perasaannya pada Sahl, Syanin tersenyum kecil dan melipat tangan. Dia kemudian berkata, “Maaf, aku tidak serius. Aku hanya bohong soal suka padamu. Tapi Hani serius, jadi sebaiknya, berikan jawabanmu ya, Sahl. Aku beri waktu tiga menit untuk menyelesaikan masalah kalian.”

Syanin dan Asty kemudian keluar dari kelas tepat setelah itu. Dia berpapasan dengan Oase yang baru saja sampai ke depan pintu kelas. Oase bertanya, “Apa yang terjadi?” Sementara Syanin menjawab, “Kita tunggu saja di luar.”

“Ah, uh, baiklah,” respon Oase menurut dan pergi menjauhi kelas. Sambil pergi menjauh dari kelas, Oase masih sangat penasaran dengan kejadian itu. Dia hanya bisa melihat Syanin menerobos masuk kemudian Hani mengejarnya dari belakang.

Dia masih bertanya-tanya tentang apa yang Syanin lakukan. Tapi meski Oase menanyakan itu, Syanin tidak ingin menjawabnya dan tetap pergi menjauh dari kelas.

Akhirnya Aku Mengatakannya!

Mabinogion Volume 2 Chapter 8

Oase mencoba memberi tahu Sahl tentang apa yang Syanin khawatirkan saat ini. Harapannya, Sahl akan ikut mewaspadai apa yang Syanin waspadai meski itu semua hanya sebatas kekhawatiran belaka.

Maksudnya, kekhawatiran Syanin di sini memang hanya sebatas kekhawatiran saja. Tidak ada bukti konkret atau nyata kecuali pelajaran dari pengalaman. Syanin menarik kesimpulan tentang apa yang terjadi pada Tifah, termasuk tentang apa yang terjadi pada ayahnya Dalilah. Belajar dari dua pengalaman itu, Syanin khawatir kalau mesin game yang disinkronkan dengan sistem sekolah akan mengalami masalah juga. Pasalnya, yang terlibat dalam pemberdayaan mesin game adalah siswa secara langsung. Itu berarti apabila masalah benar-benar terjadi, maka yang terkena masalah itu adalah siswa secara langsung. Itulah yang Syanin khawatirkan.

Sekilas terlihat kalau kekhawatiran Syanin ini berlebihan. Makanya Sahl nampak tidak peduli dengan apa yang Oase jabarkan. Respon Sahl kurang lebih seperti, “Kau tidak ingin aku berkembang dengan mesin yang sekolah berikan. Maaf saja tapi rencana itu tidak akan bisa membodohi Sahl yang cermat.”

“Cara bicaranya beda,” batin Oase terkejut ketika mendengar gaya bicara Sahl yang berbeda. Oase kemudian hanya bisa merespon, “O-oke.” Kepada Sahl.

Akhirnya, satu-satunya orang yang masih bisa Oase ajak untuk tetap mewaspadai mesin game sekolah hanyalah Nova. Hari itu pukul tujuh malam, Oase menelepon Nova untuk memperingatinya.

“Ah, Oase, mau melaporkan kejadian hari ini lagi?” tanya Nova cukup semangat meski itu hanya terdengar lewat telepon. Oase menjawab, “Iya seperti biasa. Lalu dari laporan ini, mungkin saja ada peringatannya juga. Jadi sebaiknya dengarkan dengan seksama.”

“Aku selalu mendengar telepon dari Oase dengan semangat!” kata Nova dengan nada bicaranya yang terdengar meledek. Oase menanggapi, “Memangnya kau pikir, itu akan membuatku senang?”

“Lantas apa yang membuatmu senang?” tanya Nova penasaran. Sementara Oase menjawab dengan singkat, “Kencan.”

Suasananya menjadi diam dan hening. Tidak ada tanggapan dari Oase atau Nova ketika mendengar Oase mengatakan kencan dengan mudah. Sekilas setelah keheningan yang mengganggu, Nova berkata, “Aku tidak menyangka bisa mendengar ajakan kencan dari Oase.” Sedikit kesal, Oase menanggapi, “Itu pujian?”

“Lupakan. Kau bilang ada peringatan untukku. Peringatan apa itu?” Nova mengalihkan topik pembicaraan. Meski terlihat sedikit kecewa, Oase menjawab, “Hari ini, sekolah membagikan mesin game VR MMO DREAMER ke setiap siswa di kelas.”

Secara spontan Nova merespon, “Eh, serius? Aku merasa tidak berguna karena telah membelinya ….” Dia terdengar sedih. Tapi Oase belum selesai bicara. Dia berkata, “Kemarin, Syanin memberiku sedikit informasi. Eh, lebih pas jika aku sebut perkiraan daripada informasi sih.”

“Perkiraan, soal apa?” tanya Nova bingung sambil merebahkan punggungnya di atas kasur. Oase menjawab, “Tentang kita yang tidak boleh menggunakan mesin pemberian sekolah.”

Oase menjelaskan semuanya malam itu. Tentang apa yang Syanin khawatirkan dan larang. Tentang apa penyebab dari kekhawatiran itu. Termasuk dampak yang mungkin terjadi jika masalahnya benar-benar ada.

Nova paham, dia juga terdengar mengerti dari responnya. Merespon semua penjelasan itu, Nova berkata, “Aku mengerti tentang peringatan itu. Aku juga akan mematuhinya. Tapi, aku ingin menanyakan satu hal.”

“Apa itu?” tanya Oase spontan. Sementara dengan nada serius, Nova berkata, “Kenapa Syanin bisa terpikirkan untuk memperingati ku juga? Maksudku, tidak ada yang tahu kalau kita sudah membeli mesin game itu bukan? Termasuk, fakta kalau kita pacaran.”

Oase memasang ekspresi lega ketika mendengar itu. Membuang nafas perlahan, Oase berkata, “Aku juga menanyakan itu pada dia langsung. Tapi ya, fakta kalau dia mengetahui semuanya adalah benar, sesuai kegelisahanmu barusan. Fakta mulai dari kita yang berpacaran. Sampai fakta tentang kita yang memiliki mesin game VR MMO, Syanin tahu semuanya.”

“Lantas dari mana dia tahu semua itu?” Nova mulai tidak terkendali dan nada bicaranya mulai kacau. Oase menyadari itu dan mengarahkan suasana ke arah yang lebih baik. Dia memang tidak bisa mengubah suasana pada kebanyakan interaksi. Tapi jika dengan Nova, Oase merasa bisa mengarahkan suasana ini.

“Entahlah, dia hanya menjawab kalau dia suka mencari tahu. Selain itu, ada apa denganmu? Kau terdengar gelisah.” Kalimat itu ditutup dengan pertanyaan Oase yang khawatir tentang Nova. Itu seharusnya wajar kalau Oase bertanya. Karena yang Oase tahu, Nova memang berniat untuk memberitahukan hubungan mereka setelah dispensasi selesai. Tapi ketika dia tahu tentang Syanin, Nova terlihat panik.

Dengan nada bicara yang sedikit takut, Nova berkata, “Aku dilarang pacaran oleh produser.”

________

Kamu Sedang Membaca Web Novel Mabinogion Volume Kedua


Pagi hari, dengan wajah yang terlihat mengantuk dan payah, Oase berangkat ke sekolah. “Aku terlalu lama mengobrol semalam,” keluh Oase lemas sambil menguap karena rasa kantuknya. Meski Oase hanya bicara sendiri pagi itu, ada respon yang terdengar dari mulut gadis.

“Wah, aku harap kau tidak lupa memberitahukannya. Terakhir kali kau beralasan lupa karena terlalu asik mengobrol dengan pacarmu itu.” Itu adalah suara Syanin yang terdengar.

Oase terkejut, tapi ekspresinya yang mengantuk tidak menggambarkan itu. Oase hanya merespon, “Oh, aku memberitahunya kok. Selain itu jangan asal merespon orang yang sedang bicara sendiri.”

“Seharusnya kau berterima kasih karena aku masih mau meladeni keluhan itu,” kata Syanin ketus. Sementara Oase hanya menanggapinya singkat. Dia berkata, “Terima kasih.”

“Sama-sama,” jawab Syanin ketus. Mengalihkan topik pembicaraan, Syanin menanyakan sesuatu yang penting. “Oase, kau bawa mesin yang mana hari ini?” Sementara Oase menjawab, “Mesin lamaku. Yang dari sekolah aku tinggalkan di rumah.”

“Bagus, kau cukup penurut sepertinya. Untuk kepentingan informasi, Asty menggunakan mesin yang aku beli. Sementara aku menggunakan mesin dari sekolah. Aku tidak tahu apa perbedaannya sampai aku melihatnya langsung. Niatku begitu sih, tapi setiap orang hanya bisa memiliki maksimal satu akun,” jelas Syanin cukup panjang.

“Apa maksudnya satu akun?” Oase menanggapinya dengan bertanya. Syanin terlihat malas untuk menjelaskannya lebih lanjut. Ekspresinya menggambarkan itu dan Oase paham. Bahkan ketika Syanin mulai menjelaskannya secara terpaksa, Oase juga paham dan itu membuatnya merasa tidak enak.

Syanin menjelaskan, “Mesin itu membuat akun dengan menyelaraskan otak dan pikiran penggunanya. Hanya ada satu Syanin di dunia ini. Ketika Syanin sudah mendaftarkan dirinya di salah satu mesin, maka akunnya sudah terdaftar dan itu tidak akan pernah bisa diganti atau diduplikasi.”

“Aku mengerti, lalu bagaimana jika kau ingin mengganti mesin untuk bermain?” tanya Oase.

Kemudian Syanin menjawab, “Mesin itu sudah bisa mengidentifikasi kalau penggunanya adalah Syanin. Setelah mesin itu tahu kalau Syanin akan menggunakannya, maka data permainan akan disinkronkan dengan mesin baru. Aaaa aku juga kurang paham bagaimana menjelaskannya. Intinya kau paham, ‘kan?”

“Kurang lebih, ketika kau menggunakan mesin yang kau beli sendiri pada awalnya, kau sudah terdaftar secara permanen. Lalu ketika kau ingin menggunakan mesin yang sekolah berikan, maka kau tidak perlu mendaftar ulang. Itu karena data di mesin lama sudah otomatis sinkron dengan mesin pemberian sekolah. Acuan untuk sinkronisasi data adalah pemikiran dan otak Syanin. Kurang lebih begitu?” tanya Oase memastikan.

“Begitulah, tidak sia-sia kau teleponan sampai larut dengan pacarmu. Kau selalu bisa berpikir jernih setelahnya, itu cukup memudahkan bagiku,” kata Syanin ketus dan beranjak masuk ke gerbang sekolah. Tentu saja, Asty selalu mengikuti dan mengawalnya dari belakang.

MESIN PEMBERIAN SEKOLAH

Mabinogion Volume Dua Chapter 7


Musim hujan, meski hari itu masih pagi, Oase membawa payung agar bisa pergi ke sekolah. Tidak disangka, ketika Oase sedang jalan sendirian, seseorang menyapanya dari belakang.

“Tidak biasa, berpapasan denganmu saat berangkat sekolah, ini sungguh tidak biasa.” Oase melihat ke belakang, ternyata itu adalah Syanin dan Asty yang berjalan di belakangnya. Asty memayungi Syanin sehingga pundaknya basah sedikit akibat hujan. Tapi Syanin yang dipayungi terlihat sangat kering. Mungkin, satu-satunya yang basah bagi Syanin hanya sepatu hitamnya.

Oase menjawab sapaan ketus dari Syanin, “Seharusnya aku yang bilang begitu tuh. Kenapa kau yang biasanya naik mobil malah harus berjalan dengan payung? Itu malah lebih tidak biasa.”

“Musim hujan saat aku kelas tiga SMP hanya datang satu kali seumur hidup. Aku tidak ingin menghabiskan musim hujan di dalam mobil dan merasakan kering. Aku ingin setidaknya ada momen ketika aku berjalan di bawah payung. Atau momen ketika aku basah  kuyup akibat kehujanan. Puas dengan jawaban itu?”

“Jawabannya tidak terduga ….”

“Selain itu, bagaimana?” Syanin mengarahkan obrolan ke topik lain. Oase yang tidak paham hanya bisa bertanya, “Bagaimana, apanya?”

Syanin membuang nafas. Dia kemudian berkata dengan malas, “Aku khawatir dengan dirimu yang tidak peka seperti itu. Kenapa Nova mau berpacaran denganmu ya ….”

“Kau terlalu mempersulitnya saja. Aku mana paham dengan pertanyaan selain itu, bagaimana? Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang kau tanyakan dari kalimat itu. Oh iya, ini baru terpikirkan olehku. Kenapa kau bisa tahu kalau aku dan Nova berpacaran?” Oase menutup kalimatnya dengan bertanya. Ini memang bahaya kalau menanyakannya secara langsung. Tapi tindakan Oase masih lebih baik daripada berita ini tersebar.

“Ah, betapa bodohnya kau karena bertanya seperti itu meski sudah tahu hobi ku. Sudah jelas aku mencari tahu! Mencari tahu dalam artian, aku menelitinya.”

Jawaban frontal itu membuat Oase tidak bisa berkata-kata. Dia hanya bisa membatin, “Hobi itu membuatmu terlihat seperti penguntit!” Kalimat itu agak sensitif, makanya Oase hanya mengeluarkannya dalam hati. Tapi dalam kalimat lain, Oase bertanya, “Kenapa kau penasaran sampai sejauh itu?”

“Karena itu menyenangkan!”

“Jawabannya cepat sekali,” batin Oase sekali lagi setelah mendengar jawaban Syanin yang frontal. Obrolan singkat itu telah mencapai akhirnya karena mereka bertiga sudah sampai ke sekolah. Syanin menghentikan langkah, membuat Oase ikut berhenti dan memiringkan kepala tanda tanya.

“Aku tanya sekali lagi. Bagaimana? Kau sudah mengabari Nova, ‘kan?” Suasananya mendadak serius dengan dikeluarkannya pertanyaan itu. Oase yang panik hanya menggaruk pipi dan mengalihkan pandangan.

“A-ah … ba-bagaimana, ya ….” Oase merespon tidak jelas. Membuat Syanin kesal sampai dia bertanya sekali lagi. Kali ini dengan nada bicara meninggi, Syanin bertanya, “Jangan-jangan, kau tidak meneleponnya?”

“Te-tentu saja aku meneleponnya. Ta-tapi, karena membicarakan banyak hal, aku sampai lupa … maaf!” Oase saling menempelkan telapak tangannya, itu posisi tangan yang meminta maaf. Dia melanjutkan kalimatnya dengan berkata, “Akan aku beritahukan langsung sepulang sekolah nanti.”

“Pastikan jangan sampai lupa, dah!” Syanin dan Asty bergegas pergi meninggalkan Oase. Mereka memasuki gerbang saat Oase masih terdiam bingung di depan.

“Eh, kesannya seperti perpisahan meski kita akan masuk kelas bersama.”

_________________

Seperti ramalan, semua informasi dari Syanin benar-benar terjadi pagi itu. Pak Dhani membawa kotak besar dengan bantuan Reki sebagai ketua kelas. Isi kotak besar itu adalah mesin game VR MMO dan jumlahnya yang cukup untuk seisi kelas.

Semua murid diberikan mesin itu satu per satu. Seluruhnya riang dan gembira. Mereka sangat bersemangat ketika tahu kalau mesin game yang saat ini menjadi primadona sudah mereka miliki. Terkecuali, Syanin dan Oase. Mereka tampak waspada dan hanya diam di tengah sorak gembira seisi kelas.

Menyudahi sorak gembira itu, Pak Dhani kemudian berkata, “Kita akan menggunakan mesin game itu untuk keperluan pendidikan juga.” Ruang kelas mendadak hening ketika mendengarnya.

Mesin game dan kebutuhan pendidikan? Keduanya nampak seperti air dan minyak, tidak bisa disatukan. Itulah yang terbayangkan oleh seisi kelas termasuk Oase dan Syanin.

Pak Dhani kemudian duduk di meja guru. Dia memahami diamnya siswa adalah bentuk dari kebingungan mereka. Karena itu Pak Dhani mulai menjelaskannya. Penjelasan tentang mesin game itu dan hubungannya dengan sekolah, semuanya Pak Dhani jabarkan.

“Mesin Game VR MMO Dreamer adalah mesin game yang menjadikan bakat dan kecerdasan individu sebagai acuan. Intinya, seberapa kuat kalian di dunia game, itu ditentukan oleh kecerdasan dan bakat kalian di dunia nyata. Tentu saja, sekolah akan menilai hasil belajar kalian dari statistik kalian dalam dunia game. Jika statistik kalian tinggi, maka dapat dipastikan nilai kalian tinggi juga. Begitupun sebaliknya.”

Penjelasan umumnya mudah untuk dipahami. Tapi ada beberapa pertanyaan yang mungkin bisa menjawab kejanggalan dari penjelasan itu.

“Maksudnya, apakah kita harus banyak belajar materi akademik untuk menjadi kuat?” tanya Reki sambil mengangkat tangannya. Kemudian Pak Dhani menjawab, “Ya. Banyak belajar materi sekolah akan memperkuat statistik dan status kalian dalam dunia game. Materi sekolah yang Bapak maksud di sini adalah materi seperti matematika, IPA, sosial, bahasa, dan sejenisnya.”

Semua siswa nampak terkejut hingga terdiam. Apa yang terpikirkan di benak mereka saat ini adalah, “Mesin game bisa mendeteksi kecerdasan dan kemampuan akademik? Itu tidak masuk akal.” Harusnya itu memang hal yang tidak masuk akal, sama sekali tidak masuk akal.

“Lalu, bagaimana dengan ujiannya? Seperti ujian untuk kelulusan dan ujian lainnya.” Syanin kali ini bertanya dari tempat duduknya. Itu adalah pertanyaan yang sangat bagus, mengingat pemikiran Syanin yang selalu kritis, pertanyaan itu sudah menggambarkannya.

“Mesin ini belum disinkronisasi dengan sistem ujian nasional. Bisa dibilang, kita adalah sekolah pertama yang menyatukan mesin game dengan sistem sekolah. Mungkin, mesin game itu hanya akan digunakan untuk pemeringkatan setiap tahunnya.”

Sahl melirik ke arah Oase secara alami. Membuat Oase merasa risih sambil membatin, “Sahl benar-benar sensitif dengan kata pemeringkatan atau persaingan.”

Hujan mendadak deras. Sangat deras sampai suasananya menjadi bising. Pak Dhani diam, seisi kelas juga diam. Mereka menikmati suasana hujan. Suasana hujan yang gelap di pagi hari. Suasana hujan yang dingin di pagi hari.

“Ah, hari ini hujan. Karena suasananya jadi bising, kita tidak mungkin bisa belajar nih,” kata Pak Dhani nampak kecewa. Tapi, itu terlihat seperti Pak Dhani yang mencari-cari alasan untuk tidak mengajar.

“Yah, kita bebas saja untuk hari ini. Bapak akan memberi kalian tugas beberapa soal. Setelah selesai, kalian bebas sampai waktu pulang. Tapi tidak boleh pulang saat jam pelajaran loh ya. Pulanglah saat waktu pulang, kalian hanya bebas dalam artian tidak belajar meski di sekolah.”

Pak Dhani mengatakan itu dan keluar dari kelas. Suasana semakin bising setelah Pak Dhani keluar. Semua berbicara dengan lawan bicara mereka masing-masing.

Lalu, karena Nova masih dispensasi, Lifah berakhir duduk sendirian di tempatnya. Oase yang merasa khawatir mencoba untuk menyapanya dengan berkata, “Li-Lifah?”

“Ah! Aku sangat ingin main hujan!” kata Lifah semangat sambil membalikkan kursinya ke arah belakang. Dia menghadapkan posisi duduknya ke arah Oase dan Reki.

Oase sepertinya terlalu khawatir. Lifah nampak tidak sedih atau memikirkan Nova sama sekali. Satu-satunya yang membuat dia terlihat sedih adalah karena dia ingin mandi hujan saat ini juga.

“Ma-mandi hujan, kenapa?” tanya Oase dipaksakan untuk melanjutkan topik. Lagi-lagi Lifah menjawab dengan semangat, “Habisnya itu seru bukan! Oase, mau tahu tentang apa yang dipikirkan beberapa orang saat ini?”

“Yang beberapa orang pikirkan? Apa maksudnya?” Oase malah bertanya balik sebagai tanggapan dari pertanyaan Lifah. Lifah kemudian berkata, “Seperti … Syanin yang berkata dalam hatinya kalau dia sangat ingin main hujan saat masih berseragam. Atau, Reki yang membatin kalau dia ingin mencuci sepeda motornya di bawah hujan. Termasuk, kau yang tadi sedang memikirkan aku dan mengira kalau aku kesepian karena tidak ada Nova.”

“Ha-hah! A-aku tidak sedang memikirkan dirimu atau Nova sih. Lagian, apa-apaan kepekaan itu! Memangnya kau cenayang?” Oase tidak bisa berhenti terkejut ketika tahu kalau semua pikirannya terbaca oleh Lifah. Seperti tidak masuk akal kalau semua ini adalah kepekaannya sendiri.

Reki juga merespon, “Kepekaan Lifah memang tidak pernah salah tuh. Barusan sekali aku berpikir kalau seharusnya aku membawa motor ke sekolah. Aku jadi bisa mencucinya di bawah hujan karena kelas sedang kosong saat ini. Tapi kira-kira, apa yang Nova pikirkan tentang hujan ya?”

Lifah menjawab spontan, “Yah, kalau Nova sih mustahil ingin main hujan. Tubuhnya lemah dan dia sangat rentan untuk sakit jika terkena hujan.” Lifah berkata seakan-akan dia tahu semuanya.

Oase merasa kalau dia tidak bisa asal memikirkan sesuatu di dekat Lifah. Karena di luar dugaan, semua isi pikiran seperti dapat Lifah baca. Lifah dia bilang itu hanya kepekaannya saja, membuat Oase merasa kalau itu tidak masuk akal.

MUSIM HUJAN SAAT AKU KELAS TIGA SMP


Mabinogion Volume 2 Chapter 6


“Jadi, informasi soal apa?”

Syanin membuang nafas malas, seakan dia sangat malas untuk menjelaskan semua ini. Padahal, dia yang meminta Oase agar mendengar informasi darinya saat ini. Tapi ekspresinya yang seperti itu membuat Oase merasa kalau penjelasan ini akan panjang.

“Pertama, agar pembicaraan ini mudah untuk dimengerti. Aku akan memastikan satu hal dulu. Oase, kau punya mesin game VR MMO Dreamer, benar?” tanya Syanin sambil menyilang kaki dan melipat tangannya di dada.

“Benar.” Oase menjawabnya singkat dan Syanin nampak kesal. “Setelah mendengar pertanyaan ku yang panjang dan kau hanya menjawabnya dengan satu kata?” kata Syanin ketus tanpa melihat Oase sedikit pun.

“Kau mau aku menjawab apa?” Oase juga kebingungan tentang respon apa yang ingin Syanin terima. Pasalnya jika Syanin hanya ingin memastikan, maka Oase hanya bisa menjawab ya atau tidak. Benar atau salah juga masuk ke interval jawaban yang dibutuhkan.

Syanin membuang  nafas lagi. Dia kemudian melanjutkan kalimatnya dengan berat.

“Aku sedikit lega karena kau sudah punya mesin game itu lebih dulu. Itu pemberian pacarmu sih, kau pasti akan memainkannya dengan sepenuh hati bersamanya.”

“A-apa yang kau maksud!”

Syanin mendadak senang ketika berhasil menggoda Oase seperti itu. Emosinya sudah sedikit reda dan dia bisa tersenyum, senyum pelit. “Sudah kuduga kalau menggodamu adalah satu-satunya cara yang mampu untuk menjernihkan pikiranku,” kata Syanin senang seraya senyum.

“Itu jahat. Apakah kau bisa lebih jahat dari ini? Selain itu, jangan lupakan topik utama pembicaraan ini.” Oase berusaha agar topik ini masih lurus dan tidak membahas hal lain.

“Yah, berhubung perasaanku sudah bagus sih. Aku akan melanjutkannya. Jadi begini, besok, sekolah akan mulai membagikan mesin game VR MMO Dreamer. Fakta itu sudah aku pastikan dan tidak mungkin meleset.” Pembicaraan ini kembali pada keseriusannya. Tapi Oase masih belum paham tentang apa yang harus ia waspadai dari informasi itu.

Oase bertanya, “Lalu, apa ada masalah?” Sementara Syanin menjawab, “Ini untuk jaga-jaga saja. Jika kau menerima mesin dari sekolah, apa pun yang terjadi, tetaplah bermain dengan mesin lama milikmu.”

“Mesin milikku belum terlalu lama sih. Mungkin baru satu bulan sejak aku memilikinya.” Respon Oase yang seperti itu tidak dibutuhkan oleh Syanin. Membuat Syanin berkata dengan ketus, “Siapa peduli.”

Kembali ke topik, Oase bertanya, “Kenapa aku harus bermain dengan mesin lama milikku?”

“Ini untuk jaga-jaga saja. Jangan lupakan kasus soal Tifah dan ayah Dalilah. Kita juga bisa mengasumsikan kalau sekolah membutuhkan dana dalam jumlah besar. Penjualan mesin game itu adalah salah satu solusi mereka untuk mencari dana. Entah proyek apa yang mereka rencanakan, yang pasti ini adalah proyek besar. Kita adalah pihak pertama, sekolah adalah pihak kedua. Lalu, pihak ketiga adalah mereka yang mengancam sekolah ataupun kita.”

“Pihak ketiga?”

“Menurutku, pihak ketiga inilah yang membunuh Tifah. Tepat setelah Tifah mengunggah tulisan yang menimbulkan konflik, sekolah mencarinya untuk menghapus tulisan itu. Tapi sebelum Tifah ditemukan, berita kematiannya sudah tersebar. Singkatnya, pihak ketiga ini sedang mencoba untuk menjatuhkan sekolah. Mereka bertindak untuk membuat sekolah terlihat bersalah.”

“Lalu, apa hubungannya denganku yang tidak boleh bermain dengan mesin pemberian sekolah?”

“Pertanyaan polos itu membuatku kesal. Terserah, aku juga menantikannya. Momen ketika kau menyesal karena tidak menuruti perkataan ku.”

“Jangan mempersulitnya dong … aku serius belum paham. Jelaskan dalam satu kalimat terakhir.” Oase memohon karena penasaran. Syanin melirik sedikit dan memberi tatapan serius.

“Ini hanya perkiraan. Bayangkan kalau pihak ketiga membobol sistem game dan melakukan sesuatu pada kita. Kira-kira apa yang akan terjadi? Aku hanya mencoba mewaspadai itu. Untuk mewaspadai itu juga, aku dan Asty sudah membeli mesin game itu untuk kami. Harganya mahal sih, tapi ini kurasa penting.”

“Pemikiran itu ada benarnya juga sih. Tapi, kenapa sekolah ingin membagikan mesin game VR MMO Dreamer pada kita? Kalau tujuan menjualnya adalah untuk mencari dana. Maka membagikannya akan membuat mereka rugi, ‘kan?”

“Kita bisa anggap itu sebagai strategi sekolah. Aku juga belum menuntaskan pemikiran ini, tapi waspada adalah yang terpenting. Sebagai pemain, kau juga sudah paham bukan? Tentang kecerdasan pemain yang dihubungkan dengan statistiknya di dunia game.” Kalimat Syanin ditutup dengan pertanyaan yang konotasinya adalah untuk memastikan.

Oase menjawab, “Aku tahu. Kecerdasan dan bakat kita akan mempengaruhi seberapa kuat kita dalam dunia game. Mengingat kita adalah siswa dari sekolah terbaik di negeri ini. Maka dapat dipastikan, sekolah ingin membuat kita merajai sistem di dalam game.”

“Tumben sekali, otakmu sepertinya sedang encer. Sesuatu yang baik terjadi? Apakah kau baru saja diajak kencan oleh pacarmu?”

“Tolong jangan mengarahkan semuanya ke situ … aku baru saja berpikir keras dan itu responnya? Yah, dia sangat sibuk sih. Seorang artis sangat sibuk sampai dia jarang menelepon akhir-akhir ini.”

“Menyedihkan. Kenapa kau harus menunggu telepon darinya? Kenapa kau tidak mencoba untuk meneleponnya duluan?”

Oase menggaruk hidung canggung sambil berkata, “Ha-habisnya, itu akan mengganggunya, ‘kan?” Tidak menanggapi itu, Syanin langsung berdiri dari kursi taman dan hendak pergi.

“Eh, sudah mau pergi?” tanya Oase sambil ikut bangun dari duduknya. Sementara Syanin menjawab, “Tidak sepertimu aku punya banyak hal yang harus diselesaikan. Aku akan pulang. Satu lagi, sampaikan juga pada Nova untuk tidak menggunakan mesin pemberian sekolah.”

“I-iya, akan aku sampaikan,” jawab Oase sedikit ragu untuk disampaikan. Karena dari kalimat Syanin barusan, Oase bisa memahami maksud tersirat akan sesuatu. Itu adalah isyarat agar Oase menelepon Nova lebih dulu.

“Te-terima kasih.” Oase mengucapkan terima kasih dengan suara yang sangat kecil. Bahkan Syanin tidak bisa mendengarnya karena dia sudah berjalan cukup jauh.

“Omong-omong, kenapa Syanin bisa tahu soal aku dan Nova yang berpacaran?”

_____________

Berat, gugup, dan takut. Tapi Oase tetap memberanikan diri untuk membuka ponselnya malam itu. “Apakah aku akan mengganggunya jika menelepon semalam ini?” Oase bergumam sendiri sambil melihat jam dinding. “Lah ini masih jam tujuh sih,” katanya dengan perasaan sedikit lega setelah tahu ini masih pukul tujuh.

“Tidak apa, mungkin?” Meski tombol panggil hanya tinggal ditekan satu kali, telunjuknya sangat berat untuk menekan. Itu adalah keraguan yang sangat mengganggu untuk menelepon pacarnya sendiri.

Daripada ragu, mungkin itu lebih condong kepada khawatir. Yang saat ini menahan Oase adalah rasa khawatir apakah teleponnya mengganggu Nova atau tidak. Dia benar-benar ragu sampai berpikir untuk tidak meneleponnya malam itu. Tapi, satu kalimat terngiang dan itu mengembalikan keyakinannya.

“Menyedihkan. Kenapa kau harus menunggu telepon darinya? Kenapa kau tidak mencoba untuk meneleponnya duluan?”

“Yah, kalau bukan karenanya juga, aku tidak mungkin bisa seperti ini.” Oase menekan tombol panggil dengan mudahnya. Tidak butuh waktu sampai telepon itu diangkat.

“Oase? Ada apa? Tumben sekali.” Suara Nova yang masih sama dan memanggil namanya, itu membuat Oase merasa lega. “Tumben sekali, memangnya salah kalau aku menelepon?” Oase mengembalikan itu dengan kalimat yang cukup berani.

“E-eh, tidak. Maksudku, kau tidak pernah meneleponku sejak aku dispensasi. Kupikir kau bermasalah atau apa. Aku jadi tidak berani untuk menelepon.”

“Kalau itu keterusan entah apa jadinya kita … langsung saja, aku ingin melaporkan kejadian hari ini. Apakah kau luang?” Oase langsung mengajukan topik yang biasa mereka bicarakan lewat telepon.

“Aku baru saja selesai syuting sih. Sekarang aku di hotel dan tadinya berniat untuk mandi. Tapi mandi masih bisa menunggu sampai aku mendengar laporan darimu,” kata Nova rileks sambil merebahkan punggungnya ke kasur hotel.

“Bodoh, bau badanmu tercium nih. Sana mandi dulu.” Oase mencoba untuk menggodanya dan itu adalah pertama kalinya ketika Nova mendengar bualan Oase. Membuat Nova berkata dengan ragu, “Oase, karena itu tidak cocok denganmu sebaiknya jangan lakukan lagi.”

LAPORAN HARIAN PADA NOVA

Mabinogion Volume 2 Chapter 5

Skill pikiran paralel adalah skill yang bisa meningkatkan kecepatan seseorang dalam berpikir. Skill ini terbilang langka dan hanya bisa diarahkan kepada individu yang membuka skill penilaian sejak awal. Dengan bantuan skill ini, Oase bisa memanfaatkan waktu yang Sahl berikan saat Sahl sibuk menyembuhkan diri. Sahl butuh 20 detik untuk menggunakan skill self healing. Maka selama 20 detik itu berlangsung, Oase sudah berpikir keras selama 200 detik tanpa memperlambat waktu di sekitarnya. Itu adalah efek dari skill pikiran paralel.

Oase menjelaskan itu pada Sahl. Alasan jelas yang membuatnya bisa mengaitkan benang ke seluruh sendi tubuh Sahl. Saat ini, Sahl sudah sepenuhnya terkunci dan tidak bisa bergerak sesuai kemauan. Sementara dari sudut pandang Oase, Sahl akan bergerak mengikuti apa pun keinginan Oase. Ketika Oase menggerakkan telunjuk kanannya ke atas, kaki kiri Sahl seperti tertarik ke bawah. Kemudian Oase memaksanya dengan benang agar Sahl diam dalam posisi berlutut.

“Sekarang, bukankah siapa yang menang sudah jelas?” tanya Oase dan itu sangat mengintimidasi. Sahl sedang bingung. Lagi-lagi dia merasa frustasi karena dikalahkan sekali lagi oleh Oase. Entah itu karena soal, permainan catur, atau VR MMO, semua duel itu dimenangkan oleh Oase. “Kenapa aku tidak bisa menang meski hanya di satu bidang? Aku menyerah.”

Pilihan terbaiknya saat ini hanya menyerah. Sahl tidak bisa menghentikan duel secara paksa sebelum satu pihak dikalahkan atau menyerah. Meski kecewa karena gagal, tapi Sahl sedikit dewasa dalam menanggapi kekalahannya kali ini. Berbeda dengan enam bulan lalu. Yang mana tanggapan Sahl terhadap kekalahannya itu dinilai berlebihan, saat ini Sahl berusaha menerima fakta langit di atas langit.

Kenapa aku tidak bisa menang meski hanya di satu bidang? Penilaian Sahl yang seperti itu membuat Oase emosi. Penilaian itu seakan menganggap kalau Oase adalah orang yang serba bisa dan tidak bisa dikalahkan dalam hal apapun. Dengan menahan perasaannya yang emosi, Oase bertanya, “Hei Sahl, mau tanding olahraga denganku?”

Pertanyaan itu membuat pandangan Sahl terangkat. Dalam posisinya yang masih berlutut, dia melihat Oase yang saat ini sedang menantangnya dalam olahraga. Oase lagi-lagi berkata, “Kalau kau menang, kau bisa menganggap ujian pemanasan, pertandingan catur, termasuk duel ini, itu semua bisa kau anggap bahwa kaulah pemenangnya.”

“O-olahraga, kenapa?” tanya Sahl kebingungan. Belum lagi ketentuan yang mengatakan kalau dia boleh melupakan semua kekalahannya seakan dialah pemenangnya. “Kau sedang meremehkan ku?” Sahl bertanya lagi, kali ini dia sedikit kesal. Tentu saja posisinya masih berlutut. Karena sejak tadi sampai saat ini, Sahl masih dalam kendali skill milik Oase.

Pertanyaan penuh emosi dari Sahl mendapat jawaban. Oase berkata, “Tidak, aku belum selesai bicara. Kalau aku yang menang di pertandingan olahraga nanti, aku akan menyiarkan kekalahanmu saat ini. Aku sudah merekamnya sih.” 

Sahl langsung sontak terkejut ketika mendengar itu. Meski Sahl sudah memasang privasi ketat untuk duel ini, tapi Oase malah merekamnya dan mengancam akan menyebarkannya. Tapi, memangnya apa yang bisa Sahl lakukan? Bahkan dia sudah di bawah kendali penuh Oase saat ini. 

“Bagaimana? Atau kau mau menerima kekalahan ini dan mengakui kalau kau memang tidak bisa menyaingiku.” Oase terus memberikan provokasi. Kalimatnya yang provokatif adalah upayanya untuk membujuk Sahl agar setuju. Agar masalah ini berakhir, Sahl dan Oase harus bertanding olahraga secara adil. Yang Oase pikirkan adalah kalau ini semua tidak akan berakhir sebelum Sahl merasa menang. Bukan menang sekedar menang. Tapi benar-benar menang di mana aku Oase tidak bisa menyaingi Sahl. Lalu kesimpulan terbaik yang berhasil Oase tarik adalah, olahraga.

“Aku tanya sekali lagi, mau bertanding olahraga?” Ini adalah pengulangan tanya yang kesekian kali. Bodoh jika Sahl melewatkan kesempatan ini untuk balas dendam. Karena itu Sahl mengangguk tanda setuju. Oase melepaskan skill bonekanya dan Sahl menghentikan pertandingan.

Untuk sementara, status duel ini dimenangkan oleh Oase. Tapi status itu bisa berubah tergantung hasil pertandingan olahraga mereka nanti.

Lalu hasilnya ….

“Aku kalah telak,” kata Oase lega dan ditutup dengan hela nafas. Hasil pertandingan, lomba lari jarak 100 meter, dimenangkan oleh Sahl. Seberapa banyak memasukkan bola basket ke ring dalam waktu satu menit, dimenangkan oleh Sahl. Seberapa banyak push up dalam satu menit, dimenangkan oleh Sahl. (Oase sudah pingsan di detik ke-30).

“Ini memang kalah sih, kalah parah. Tapi entah kenapa, aku merasa lega,” kata Oase membatin sendiri dalam hatinya. Sahl menerima kemenangan itu dengan senang hati. Dia juga sudah cukup melakukan selebrasi atas kemenangannya itu.

“Pada akhirnya, kita tidak akan bisa jadi yang terbaik di segala bidang. Sahl juga bukan orang bodoh. Seperti yang dirumorkan sejak dulu. Sahl adalah siswa terbaik di negeri ini. Tapi ya, semangat bersaing Sahl sangat tinggi. Itu membuatnya terlihat cukup kikuk saat berusaha menjadi yang teratas dalam. Hal apa pun. Mungkin, satu-satunya orang yang ia akui sebagai rival saat ini, hanyalah aku.”

______________________

“Selamat, karena masalahmu dengan Sahl telah selesai, aku bisa membahas masalah baru denganmu.” Suara itu menyambut Oase yang sedang pergi ke ruang ganti. Tapi, suara itu perempuan.

“Setidaknya tunggu aku sampai selesai ganti baju dong, Syanin.” Oase meresponnya dengan sedikit risih sebelum ia masuk ke ruang ganti.

“Yah, kita juga tidak akan bisa membahasnya di sini sih. Aku akan menunggumu di taman setelah pulang sekolah, pukul empat sore, ya. Terlambat satu menit maka kau harus sujud padaku selama satu jam,” kata Syanin sambil beranjak pergi meninggalkan Oase.

“Sujud padanya satu jam, apa-apaan tuh ….”

____________

Sore itu, Oase duduk di kursi taman, tentu saja sendirian. Dia melihat menara jam di pusat taman, membuatnya semakin malas dan berkata, “Sekarang sudah jam 16.15 tuh. Dia harus sujud padaku selama 15 jam, ya?”

“Sejak kapan aku menyepakati itu?” Suara Syanin mendadak terdengar dari belakang Oase. Ada Asty juga yang seperti biasa berjalan di belakang Syanin.

“Kau mengatakan peraturan itu sendiri,” kata Oase kesal sementara Syanin hanya menjawab, “Peraturan itu hanya berlaku untukmu sih.” Perkataan itu sudah jelas menunjukkan ketidakadilan. Tapi Oase juga tidak berniat untuk memperpanjangnya. Sapaan di awal itu hanya sekedar sapaan, bukan dia yang sedang menegakkan peraturan yang bahkan, peraturan itu tidak tertulis.

“Jadi, ada masalah apa? Kau sampai mengundangku bicara seperti ini.” Oase memulai pembicaraan dengan bertanya. Sambil duduk di kursi taman yang berbeda dengan Oase, Syanin menjawab, “Kau sudah sedikit kurang ajar tuh. Padahal di awal semester satu, kau selalu gagap dan patah dalam bicara.”

“Semua orang bisa berubah ….”

“Yah, baguslah. Itu akan mempercepat pembicaraan ini untungnya. Langsung saja, aku mendapat informasi penting secara tidak sengaja. Ini tentang sekolah.” Saat menutup kalimat itu, atmosfer dan suasana terasa berubah. Dingin, gelisah, dan berat. Padahal sebelumnya, suasana di taman sangat ramah dan bersahabat.

“Informasi apa?” tanya Oase sambil memiringkan kepala.

-Kandang Burung-

Mabinogion Volume 2 Chapter 4

Chapter 4: You Are My Doll

Sistem mulai menghitung. Pertandingan antara Sahl dan Oase, akan dimulai dalam 10 detik dari sekarang. Mereka sudah siap dengan rencana mereka masing-masing dan berbagai perkiraan yang setidaknya bisa menyelamatkan mereka dari kekalahan.

[3]
[2]
[1]

<DUEL DIMULAI>

Seperti kilat dan tanpa peringatan, Sahl sudah berada di belakang Oase. Tidak disadari juga, pedang pahlawan yang awalnya masih terbungkus, kini sudah terhunus dan memantulkan cahaya.

“Skill teleportasi?” kata Oase bertanya sendiri dalam hati. Saat ini, Oase sedang menggunakan skill pikiran paralel. Itu adalah skill yang membuat Oase bisa berpikir 10 kali lebih cepat dari kecepatan normal. Akibat dari penggunaan skill ini, semua yang sedang berlangsung akan terlihat lambat di pandangan Oase. Padahal Oase tidak melambatkan waktu atau mempercepat daya fisiknya. Satu-satunya yang dipercepat adalah kemampuan berpikir Oase.

<Pikiran Paralel>

[Kamu bisa berpikir selama 10 detik dalam satu detik di kenyataan]

Oase bisa mengira-ngira waktu terkait serangan Sahl. Dalam penglihatannya, serangan Sahl akan mengenai Oase dalam satu detik. Tapi bagi Oase yang menggunakan pikiran paralel, Oase punya waktu 10 detik untuk menghindar.

Oase minggir sedikit dan menghindari serangan Sahl. Tidak banyak tenaga yang ia keluarkan. Tapi sekalinya harus dikeluarkan, Oase langsung menggunakan skill unik miliknya.

<Pengendali Benang>

[Kendalikan benang yang kuat sesuka hati Anda. Setiap benang yang dikeluarkan harus dibayar dengan mana]

Karena tidak ada tempat untuk melilit benang, Oase hanya bisa mengeluarkan benang sederhana. Sulit untuk menjerat Sahl dengan teknik menjebak. Makanya Oase menjadikan benang sebagai serangan langsung.

Benang itu tipis, kecil, kalis. Tapi kalau diberikan tekanan atau sedikit mana, maka benang akan lebih kuat daripada pedang. Bahkan Sahl butuh tenaga untuk menangkis serangan mendadak dari Oase. Meski itu keras, tapi Sahl masih bisa menahannya. Itu hanya masalah kecil.

Tapi, akhirnya Oase bisa memancing Sahl untuk serius. Maka serangan selanjutnya yang ia rencanakan adalah ….

<SPIRALISASI>

[Buat target apapun berputar secara paksa meski itu menghancurkannya.]

Itu adalah sihir kuat yang wujudnya adalah gelombang. Tidak dapat dilihat, tidak dapat dideteksi. Satu-satunya yang bisa mengatasi skill ini hanyalah indra perasa. Sahl lumayan lambat untuk bisa merasakan itu. Gelombang spiral bergerak sangat cepat, bahkan lebih cepat dari kedipan mata.

Meski sudah berusaha menghindar, Sahl tetap terkena efek skill itu di bagian lengannya. Membuat lengannya yang kanan terkilir karena gelombang putar. Tangannya seperti berputar secara paksa, melawan ketentuan sendi yang tidak bisa dipaksa. Karena itu lengan kanannya patah. Membuat ia tidak mampu memegang pedang.

Tapi jika ditinjau, efek itu masih lebih baik daripada Sahl tidak menghindar. Jika Sahl tidak menghindar, maka serangan spiral akan mengenai perutnya. Entah akan menjadi apa perutnya nanti, itu yang Sahl pikirkan.

“Kalau begini aku terpaksa serius juga,” kata Sahl tersenyum kecil. Dengan tangan kiri, dia mengusap lengan kanannya yang terkilir. Kemudian muncul cahaya keemasan dari lengan kirinya itu.

<Self Healing>

[Sembuhkan dirimu sendiri, utamakan skill healing khusus jika ada. Skill ini hanya untuk keadaan darurat.]

Oase melihat apa yang sedang Sahl lakukan. Skill penilaian bisa melihat lebih dari itu. Sadar kalau ini tidak bisa dibiarkan, Oase langsung menembakkan benang sebagai serangan langsung. Tapi Sahl punya skill lainnya, itu adalah ….

<Light of Shield>

[Cahaya akan melindungi dirimu selama 10 detik. Penggunaan bisa semakin lama tergantung mana yang dikorbankan.]

Benang Oase tidak bisa menembus dinding itu. Sahl memanggil dinding untuk membentengi dirinya saat ini. “Pemilik gelar pahlawan memang hebat,” kata Oase terpukau sekaligus khawatir. Apakah ada cara khusus yang bisa ia gunakan? Oase bertanya sendiri dalam hatinya.

Dia sudah sadar, serangan terbaiknya saja belum cukup untuk menyudutkan Sahl. Sejak awal sampai titik ini, Oase sudah mengeluarkan deretan skill kelas atas atau skill pamungkas miliknya. Tapi itu sama sekali tidak menyudutkan Sahl. Malah, Sahl sedang menyembuhkan diri saat ini. Jika penyembuhan itu berhasil, maka Sahl akan kembali pada kondisinya yang prima.

“Aku punya satu cara lagi sih. Tapi memangnya, ini akan bekerja untuk orang seperti Sahl?” Oase bertanya-tanya sendiri. Tapi pertanyaan itu tidak akan terjawab sebelum Oase mencobanya langsung. Apakah akhirnya akan gagal, atau akhirnya akan berhasil. Oase harus bertaruh pada kemungkinan itu.

<Penyembuhan Selesai>
[Kondisi Tubuh: 80%]

“Setelah semuanya dia masih punya 80% kondisi dan itu sangat baik. Sementara aku?” Oase melihat bagaimana kondisinya saat ini, membandingkan dirinya dengan Sahl yang kondisinya jelas sangat prima.

[Kondisi Tubuh: 57%]

“Skill penyembuhan curang …” keluh Oase kesal. Melihat dinding cahaya sudah hilang dan Sahl tampil dalam kondisinya yang prima. Sahl sudah siap untuk melanjutkan setelah istirahat sejenak. Sementara Oase, sejak tadi, tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali memperhatikan.

“Mau aku lanjutkan? Atau mau menyerah?” Sahl cukup percaya diri untuk menyampaikan intimidasi itu. Tapi Oase tidak peduli. Dia hanya diam dan menunggu bagaimana Sahl melangkah. Oase tidak menjawab pertanyaan itu karena tidak ada yang perlu dijawab.

Sahl langsung menghunuskan pedangnya dan tiba di depan Oase untuk menebasnya. Sangat cepat, itu adalah kecepatan yang tidak biasa dan berbahaya. Pasalnya, kalau Sahl salah memposisikan kakinya, maka bisa saja dia terkilir karena gerakan secepat itu. Tapi Sahl nampaknya sudah lebih dari lihai, dia cukup percaya diri untuk mendekati Oase dengan secepat itu.

Sementara Oase diam, gerakannya tidak merespon. Meskipun Sahl sudah ada di depannya dan dalam posisi hampir menebas, Oase malah berkata, “Kau bonekaku.”

<You Are My Doll>

[Setelah kaitkan seluruh sendi target dengan benang, silakan kendalikan mereka sesuka hati. Target tidak akan bebas kecuali benang dilepas dari sendi mereka.]

Sahl bertahan dalam posisinya. Dia sudah mengangkat pedang kuat-kuat dan siap menjatuhkannya tepat di kepala Oase. Tapi tubuh Sahl mendadak kaku, dia tidak bisa menurunkan pedangnya dan menebas Oase sesuai niatnya.

Sekarang, giliran Oase yang bertanya, “Mau aku lanjutkan? Atau, mau menyerah?” Oase cukup percaya diri untuk membalas intimidasi Sahl. Itu adalah skill mutlak yang tidak bisa dilawan dengan skill imunisasi apapun.

“Bagaimana bisa? Sejak kapan?” Sahl mempertanyakan tentang bagaimana bisa, Oase mengaitkan benangnya pada sendi-sendi Sahl, sementara Sahl tidak menyadarinya sama sekali. Itu jelas-jelas adalah keanehan. Bahkan Sahl sendiri sudah tahu. Dia sudah meneliti tentang Oase sebelum bertarung.

Skill “You Are My Doll” bisa diaktifkan dengan syarat penggunanya harus mengaitkan benang di seluruh sendi target. Sementara sendi pada tubuh manusia, jumlahnya ada 360 sendi yang menghubungkan kerangka dalam tubuh.

Ini jelas keanehan. Normalnya, Oase harus mengaitkan benangnya pada 360 sendi tubuh Sahl. Bagaimana bisa dia mengaktifkannya dalam waktu sesingkat itu dan tanpa disadari?

“Memangnya kau menghentikan waktu?” tanya Sahl dalam hati kecilnya.

Mabinogion Volume 2 Chapter 3

Baca Web Novel Mabinogion Volume Dua di platform wattpad lewat tautan berikut Mabinogion Volume 2 Chapter 3

CHAPTER 3: Duel Terakhir?


Pak Dhani keluar kelas. Dia bergegas pergi ke ruang guru, kemudian duduk di mejanya. Di atas mejanya, ada satu buku arsip yang tampak mencolok. Dia membuka buku tebal itu. Terus membalik halamannya, sangat jauh sampai tiba ke bagian belakang. Ketika dia berhenti membalik halaman, Pak Dhani kemudian diam. Dia sejenak, merenungi sesuatu dalam pikirannya. “Hanya tinggal enam halaman, ya?” kata Pak Dhani lemas ketika melihat lembaran kosong itu tersisa enam halaman terakhir.

Mabinogion

“Hari ini sudah selesai ya ….” Reki bersandar lega sambil menghela nafas dengan puas. Sangat berkebalikan dengan Lifah yang sejak tadi diam dan dan berkeringat. Diamnya Lifah membuat Reki sedikit terganggu.

“Lifah, memangnya kau mengerjakan soal pemanasan dengan jawaban bohong?” tanya Reki santai. Sementara Lifah hanya menggeleng untuk menanggapi. Gelengan kepalanya sudah mengartikan kalau dia menjawab soal dengan jujur.

“Kalau begitu tenang saja. Kemungkinan terburuknya hanya ponsel milikmu yang disita. Atau mungkin, malah tidak disita. Bisa jadi ini adalah cara Pak Dhani untuk membuatmu jera,” jelas Reki cukup panjang. Tapi Lifah tetap murung dan diam. Dia sedikit merasakan takut dari tindakannya yang membawa ponsel ke kelas. Padahal Pak Dhani hanya memberikan soal yang harus dijawab, tapi itu bisa memberikan efek jera yang efektif bagi beberapa orang.

Saat Reki sedang berbicara dengan Lifah, Oase kembali. Oase baru saja kembali dari pembicaraannya dengan Sahl setelah ujian. “Apa yang kau bicarakan dengan Sahl?” tanya Reki sembari menyambut kedatangan Oase.

Oase duduk di kursinya, merapikan buku dan alat tulis sambil menjawab, “Hanya membicarakan soal permainan.” Oase lanjut merapikan mejanya dan bersiap-siap untuk pulang. Reki terlihat heran dengan tingkah Oase yang terkesan buru-buru. Menoleh ke arah lain, Reki melihat Sahl yang sedang merapikan meja juga.

“Kalian terlihat lebih akrab belakangan ini. Bahkan Sahl sampai memintamu untuk menemaninya ke kamar mandi,” kata Reki sambil memperhatikan Sahl yang sedang bersiap pulang.

“Entahlah, aku juga sedikit lebih akrab denganmu dibanding enam bulan lalu. Kau tidak menyadari itu? Pukulan punggung setiap pagi.” Oase sudah menyisipkan sindiran di kalimatnya barusan.

Sindiran itu merujuk pada kebiasaan Reki yang selalu memukul punggung Oase setiap pagi. Meski Reki hanya menganggapnya sebagai salam selamat pagi. Dia benar-benar memukul punggung Oase sampai Oase merasa mual. Itu adalah pukulan yang keras, tapi Reki tidak menyadari itu.

“Pukulan punggung? Aku hanya memberimu ucapan selamat pagi. Apakah sekeras itu?” Mendengar pertanyaan yang tidak peka seperti itu, Oase menjawab singkat, “Itu tidak sakit. Terus lakukan itu setiap pagi dan kurangi tenaga saat melakukannya, ya?”

Oase kemudian pergi setelah merapikan meja dan tas sekolahnya. Dia keluar dari kelas, niatnya adalah langsung pulang ke rumah. Dia harus meladeni Sahl supaya masalah ini tidak semakin panjang dan dia bisa segera beristirahat. Pasalnya, Sahl yang sangat antusias dalam persaingan tidak akan terima jika Oase menolak tantangannya.

Entah sampai kapan, Oase sendiri juga tidak tahu kapan Sahl akan bosan. Mungkin sampai Sahl menang saat bertanding dengan Oase, Sahl tidak akan puas.

____________

Oase sampai ke rumah. Ibunya yang sedang memasak di dapur bertanya, “Pulang cepat hari ini???” Sementara Oase menjawab, “Ya ….” Mengabaikan ibunya, Oase langsung naik ke lantai dua dan masuk kamar. Masih mengenakan seragam, hanya meregangkan dasi di kerah supaya suasana tidak terlalu panas.

Oase mengenakan mesin virtual di kepalanya. Kemudian menekan tombol ‘on’ hingga mesinnya menyala. Beberapa konfigurasi telah ditampilkan seperti biasanya ketika pemain sedang memasuki permainan. Ketika sistem sudah selesai menilai, pemain akan benar-benar login ke dalam dunia game.

<LOG-IN GAME>

Oase berada di lobby. Ruangan putih tak berujung yang sangat luas dan sepi. Di lobby ini, biasanya Oase melihat daftar pertemanan atau event yang sedang berlangsung. Dia mengenakan atribut kostum dan menunggu undangan Sahl untuk berduel.



<Sahl mengundang Anda dalam pertandingan satu lawan satu>

[Bergabung]          [Tolak]



Oase memilih setuju karena memang itu tujuannya. Ketika Oase menekan hologram setuju, dimensi lobby berubah. Ruangan luas yang awalnya putih, kini berubah menjadi menjadi stadion luas tanpa penonton.

Bukan stadion bola atau olahraga, itu adalah stadion khusus untuk pertandingan satu lawan satu. Karena Sahl adalah pemain top global di VR MMO Dreamer, banyak pemain lain yang ingin menonton. Bahkan sampai menawarkan donasi dalam jumlah besar demi melihat pertandingan Sahl melawan Oase.

Tapi Sahl tidak mau. Dia mengatur pertandingan duel ini sebagai pertandingan privasi. Membuat orang lain tidak bisa menonton kecuali diizinkan. Meski pertandingan ini privasi, orang-orang tetap tahu kalau lawan Sahl saat ini adalah Oase. Membuat popularitas Oase meningkat pesat bahkan membludak. “Sahl, aku harus apakan popularitas ini?” tanya Oase kebingungan. Sementara Sahl menjawab, “Diamkan saja.”

Mereka berdua sudah mengenakan atribut mereka masing-masing. Kostum yang Sahl gunakan adalah kostum gagah yang biasanya dipakai oleh pahlawan. Berwarna putih dengan corak emas, kemudian ada sarung pedang di pinggangnya.

Sementara Oase sebaliknya. Oase lebih terlihat sebagai antagonis di duel itu. Oase hanya mengenakan jubah putih yang sangat besar sampai menutupi tubuhnya. Lengan jubah itu menutupi tangan hingga ujung jari. Bagian bawah jubah itu bahkan sampai menyentuh tanah. Apalagi kerahnya. Kerah jubah itu sampai menutupi mulut Oase saking besarnya.



<DUEL SATU RONDE>
[Dimulai dalam satu menit]


Sistem sudah memberi peringatan. Tiga menit sudah lebih dari cukup untuk mengatur formasi dan melakukan analisa. Baik Oase atau Sahl, mereka sudah berdiri di sisi  persegi yang berlawanan. Oase yang sadar kalau dirinya punya waktu memikirkan beberapa hal.

“Penilaian.” Oase merapal dalam hati kecilnya. Menilai Sahl dengan skill penilaian yang serbaguna. Tapi karena skill penilaian itu masih level satu, Oase hanya bisa melihat status lawannya.



<INDIVIDU: SAHL>
[TITLE: PAHLAWAN]



Oase lanjut menilai senjata Sahl yaitu pedang. Dia mengarahkan pandangan ke pedang milik Sahl, kemudian membatin, “Penilaian.”



<PEDANG PAHLAWAN>
<PENILAIAN DIBLOKIR>



“Ha? Aku tidak bisa menilai senjatanya? Serius, kalau aku tidak bisa menilainya, maka statistik pedang itu setidaknya lebih besar dariku,” kata Oase gelisah dan panik. Tinggal 30 detik sampai duel dimulai.

Oase menyadari kalau dia sangat dirugikan dalam arena ini. Skill unik milik Oase adalah Benang. Seandainya Oase bertarung di arena hutan, maka akan mudah melilitkan benang karena ada banyak pohon. Oase bisa membuat banyak jebakan yang menyulitkan pergerakan Sahl.

Di ruangan terbuka yang seperti ini, jelas Sahl sangat diuntungkan. Dia punya banyak ruang dan lebih leluasa untuk menyerang. Sebaliknya Oase akan benar-benar kesulitan jika harus bertarung di ruang terbuka.



<DUEL DIMULAI>

Mabinogion Volume 2 Chapter 2

Baca Web Novel Mabinogion Volume 2 Chapter 2 di platform Wattpad dengan tautan berikut

Mabinogion Volume 2 Chapter 2

Chapter 2: Kejujuran


Oase sudah paham. Oase tahu kalau Sahl juga bermain game VR MMO Dreamer. Itu yang jadi latar belakang kenapa Sahl menggunakan game itu sebagai acuan bertaruh.

“Tu-tunggu, pelan-pelan. Kenapa harus di game virtual itu? Kalau kau mau main bersama, maka aku juga akan main bersamamu. Tidak perlu mempersulitnya dengan taruhan.”

Sahl merasa keberatan dengan jawaban Oase barusan. Sahl berkata, “Tapi kalau tidak bertaruh, aku tidak bisa merasakan persaingan antara dirimu dan diriku. Kau pikir sudah berapa lama sejak aku mempersiapkan diri untuk hari ini? Sejak kekalahan waktu itu, aku selalu berlatih. Aku terus belajar lebih giat dari siapa pun. Lalu kalau kita tidak bersaing, untuk apa aku berusaha keras?”

“Sudah kubilang kau itu terlalu antusias ….” Oase mengelap keringat yang mengalir di dahinya. Semua percakapan ini membuatnya pusing sampai-sampai perutnya sakit. Menolak ajakan Sahl untuk bertaruh juga tidak mungkin. Meninjau dirinya, Sahl sudah mempersiapkan segalanya demi hari ini. Karena itu Oase mengalah. Dia berkata, “Baiklah, aku setuju. Entah pre-test seperti apa yang Pak Dhani siapkan untuk kita.”

Oase setuju, sementara Sahl semakin bersemangat hingga berbinar. Dia akan mengerjakan ujian pemanasan ini dengan seluruh jiwa dan raganya. Satu-satunya hal yang Sahl dedikasikan adalah soal persaingan. Demi mencapai posisi puncak, Sahl bersedia mendedikasikan segalanya.

MABINOGION

“Ujian pemanasan kita hari ini adalah ….” Pak Dhani memang terlihat aneh sejak awal. Dia tidak membawa tumpukan kertas yang mungkin saja berperan sebagai soal. Dia hanya berperilaku seperti biasa. Membawa empat spidol di saku dadanya. Tidak membawa buku silabus, materi, atau bahkan tumpukan soal. Lantas, ujian seperti apa yang akan disajikan?

Pak Dhani melanjutkan kalimatnya dengan berkata, “Ujian kejujuran!” Membuat seisi kelas heran bertanya-tanya. “Ujian, kejujuran?” Hampir semuanya mempertanyakan itu.

Pak Dhani melanjutkan kalimatnya. Dia berkata, “Tulis apa yang Bapak perintahkan di lembar jawaban. Sebaiknya jangan coba-coba untuk menipu Bapak. Walau tampak acuh, Bapak ini selalu mengawasi kalian loh ….”

“Tidak, memangnya tampak acuh darimana? Pak Dhani selalu antusias dalam keadaan apa pun. Pembuatan soal pre-test ini adalah buktinya. Selain itu, dia bilang mengawasi? Parah … aku bisa merasakannya tuh, aura penguntit veteran kelas atas. Aura itu terpancar kuat dari senyum riangnya.” Oase membatin sendiri. Dia merasakan firasat buruk dari ujian ini. Lalu firasat itu, terasa semakin nyata ketika Sahl melontarkan tanya.

“Kalau begitu, apa yang harus kami tulis?” tanya Sahl dari tempat duduknya dan dalam posisi duduk. Pak Dhani tersenyum kecil, auranya benar-benar berbeda meski itu terlihat ramah. Puas dengan senyum berbinar yang tampak mengerikan. Akhirnya Pak Dhani berkata, “Soal pertama. Apakah kamu membawa ponsel ke kelas hari ini?”

“Ha?” Spontan, dengan ekspresi Oase yang alami, dia melihat ke arah Lifah. Sementara Lifah sedang duduk mematung di kursinya. Oase yakin kalau jantungnya sedang berdetak lebih cepat dari siapa pun di kelas ini.

Pak Dhani lanjut berkata, “Pastikan kalian jawab dengan jujur ya. Bapak sedikit tidak suka dengan siswa yang tidak disiplin apalagi tidak jujur. Negeri ini sudah tidak butuh orang pintar atau orang cerdas. Negeri ini hanya butuh orang jujur, hanya orang jujur.”

Dia mengatakan itu dua kali. Pertama kalinya seperti ini, Oase akhirnya sadar. Pak Dhani yang selalu nampak antusias juga punya mode serius. Sementara itu, kalimat Pak Dhani barusan, itu sangat menusuk bagi Lifah. Entah apa yang menggangu mentalnya saat ini. Lifah terlihat sangat panik sampai dia tidak bernafas. “Hei, setidaknya jangan coba-coba untuk mati, ya?” batin Oase panik.

“Waktu habis, lanjut soal kedua.” Tidak perlu menunggu lama. Pak Dhani memberi peringatan untuk soal kedua. Semua siswa sudah menuliskan jawabannya di lembar jawaban. Sementara Lifah masih duduk mematung dan terlihat tidak bernafas. Tatapannya kosong, dahinya berkeringat, tapi dadanya tidak kembang kempis. Oase membatin lagi, “Hei, pura-pura mati tidak akan membantu.”

“Soal kedua, apakah kalian sudah punya pacar?”

“He?” Oase terdiam, membatu, mematung. Dia langsung berpikir secara tajam dan terarah. Isi pikirannya, “Apakah Pak Dhani sudah tahu semuanya???” Dia memikirkan itu. Tapi jika dipikirkan lagi.

“Tapi, memangnya, apakah pacaran adalah bentuk perbuatan yang tidak disiplin atau tidak jujur? Kurasa tidak. Selain itu, aku tidak tahu akan ada hal apa jika aku berbohong. Kemungkinan terburuknya, adalah Pak Dhani tahu semuanya mengenai kami, siswa kelas atas SMP Aiglon. Lalu jika aku berbohong, hukumannya akan lebih berat daripada aku mengaku. Karena itu, lebih baik akui semuanya di sini!”

Oase menulis jawaban dengan jujur. Dua soal pertama sudah dia lewati dengan jujur. Pak Dhani belum berhenti, dia masih melanjutkan kalimatnya. “Soal terakhir. Apakah kalian memainkan game VR MMO Dreamer?” tanya Pak Dhani lantang dari depak kelas.

“Game VR MMO? Kenapa menanyakan itu?” batin Oase dalam hatinya sendiri. Dia tidak tahu apa maksud dari ujian pemanasan ini. Tapi yang Oase tahu, dia akan lulus jika bisa menjawab dengan jujur. Karena itu dengan yakin, Oase menjawab semua soalnya dengan jujur.

“Bagus, kumpulkan jawaban kalian ke meja guru. Selanjutnya kalian bebas untuk hari ini. Silakan ke kantin atau pulang, bersantai di kelas juga tidak masalah,” kata Pak Dhani tersenyum, namun senyum itu terasa dingin. Seisi kelas bisa tahu perbedaan dari senyum khas wali kelas mereka. Pak Dhani membawa tumpukan jawaban yang telah dikumpulkan. Kemudian keluar dari kelas setelah pamit. Begitulah Pak Dhani. Sama saja seperti semester kemarin. Siswa akan langsung dibebaskan setelah pre-test selesai.

Tapi, masalah ini belum selesai bagi Oase. Mengesampingkan Lifah yang saat ini stress berat akibat ujian pemanasan. Oase harus mengurus taruhannya dengan Sahl. Meninjau, soal ujian ini berbeda dari ekspetasi mereka.

Oase mendatangi tempat duduk Sahl, melihat Sahl yang sedang gelisah karena ujian barusan. “Aku tidak mengira akan jadi seperti ini,” kata Sahl dengan nada bicaranya yang hampa dan gelisah.

Oase tidak tahu harus menghibur Sahl dengan cara apa. Meski menghibur orang bukan sifatnya. Tapi Oase ingin melepaskan Sahl dari perasaannya yang sedang kacau.

“Ja-jangan dipikirkan. Bagaimana kalau kita lupakan soal taruhannya. Dan bertanding duel di game VR MMO. Itu juga bagus menurutku,” kata Oase memberi saran. Sementara respon yang Sahl tunjukkan. Spontan, wajahnya kembali bersinar dan terangkat.

Sadar kalau sarannya hampir berhasil, Oase memberikan penguatan. Dia berkata, “Terlebih lagi, statistik individu dalam game ditentukan oleh kecerdasan dan pengetahuan kita masing-masing. Aku yakin, siapa yang menang di duel tersebut, pasti akan menang di segala ujian atau pertandingan.”

Semangat Sahl semakin membara untuk bersaing. Apa yang langsung terpikirkan di benak Sahl adalah:
1. Dia bisa mendapatkan info profil Oase dalam game tanpa harus bertanya. Itu berarti, Sahl bisa berteman dengan Oase tanpa harus meminta.
2. Sahl merasa pasti akan menang di duel tersebut. Mengingat Sahl yang sudah bermain sejak dulu. Bahkan, Sahl adalah peringkat satu secara global di game tersebut. Bisa dibilang, Sahl adalah manusia terkuat di dunia game. Itu juga bisa disimpulkan kalau Sahl adalah orang terpintar di negara yang menjadi server game itu.

“Aku setuju,” kata Sahl yakin tanpa keraguan sedikit pun.

Persaingan Puncak

Mabinogion Volume 2 Chapter 1

Baca Web Novel Mabinogion 2 lewat platform wattpad dengan tautan

Mabinogion Volume 2 Chapter 1

CHAPTER 1: TARUHAN


“Apakah Anda sudah memiliki seorang pacar?” Gadis itu diberi pertanyaan yang sedikit tidak pas untuk siswa SMP. Meski dia adalah artis, usianya tetap saja siswa SMP. Banyak wartawan mengelilingi jalannya dan menyodorkan rekaman untuk info redaksi. Setiap wartawan memberi pertanyaan yang secara garis besar, itu semua sama saja.

“Apakah Anda sudah memiliki pacar?”
“Bisa ceritakan hubungan spesial Anda?”
“Tipe laki-laki kesukaan Anda?”

“Serius, kenapa publik sangat menginginkan informasi tidak berguna seperti itu. Apa pun jawabanku, setidaknya, aku ini tetap seorang artis bukan?” Begitulah pikirannya.

Tapi, karena terpaksa dan dorongan diri yang ingin segera istirahat. Gadis itu menjawab, “Ya, aku punya pacar. Selebihnya tidak akan aku ceritakan karena ini urusan pribadi. Sekarang kalau kalian berkenan, mohon berikan aku jalan.”

Semua kejadian itu terlihat dalam layar. Mulai dari dirinya yang diserbu wartawan, ditodong pertanyaan, sampai jawabannya yang singkat. Semua itu terlihat dalam layar ponsel yang Lifah bawa.

“Tunggu, sejak kapan sekolah mengizinkan kita membawa ponsel?” Reki memojokkan Lifah dengan pertanyaan itu. Tapi tidak peduli, Lifah malah berkata, “Itu tidak penting! Yang lebih penting lihat ini. Nova mengatakan kalau dirinya sudah punya pacar. Pacar loh pacar! Kupikir itu hanya mitos soal dirinya yang bisa punya pacar,” kata Lifah sambil menunjukkan ponselnya.

“Tetap saja tindakanmu itu ilegal, bagaimana kalau disita guru?” Reki bertanya karena khawatir. Tapi lagi-lagi, Lifah tidak menghiraukannya. “Semua akan baik-baik saja,” kata Lifah santai dengan memamerkan senyum polos.

Oase yang mendengar semua percakapan itu mencoba untuk diam. Dia berpura-pura tidak dengar, pura-pura tidak tahu, niatnya adalah menjauhkan dirinya dari topik itu.

Reki yang duduk di sampingnya melontarkan tanya. “Oase, menurutmu, seperti apa tipe pacarnya Nova?” tanya Reki.

PENYERANGAN TOPIK SPONTAN, Oase mulai berkecamuk dalam pikirannya. Tapi dia mencoba tenang. Menggaruk hidung karena canggung, Oase memaksakan diri untuk menjawab, “Entah … a-aku, tidak begitu paham, mungkin.”

“Yah, percuma saja menanyakan itu pada Oase sih,” respon Reki terdengar kecewa. Seakan, ini salahnya Reki karena telah menanyakan itu pada Oase. Reki lanjut berkata, “Selain itu, dia sibuk banget tuh. Meski ini hari pertama kita belajar di semester dua, dia sudah dispensasi karena syuting. Tapi di sisi lain, dia malah sudah punya pacar. Aku tidak mengerti bagaimana pola jadwal artis.”

“A-ah, i-iya.” Tidak tahu harus menjawab apa, hanya respon itu yang bisa Oase berikan. Sejauh ini masih berjalan lancar. Mengenai usahanya untuk merahasiakan hubungannya dengan Nova. Itu hanya bisa dia lakukan
setidaknya sampai Nova selesai dispensasi.  Oase sudah mencoba untuk membuat kesepakatan.

Kesepakatan yang berisi, Oase dan Nova harus merahasiakan hubungan mereka dari publik. Nova setuju, dia akan merahasiakan itu di publik. Tapi tidak dengan lingkungan sekolah. Kalau Nova sudah begitu, maka apa pun yang Oase katakan akan percuma. Cepat atau lambat, ini semua akan terkuak.

Kelas di pagi hari mulai terdengar gaduh. Seluruh siswa sudah datang dan siap belajar di hari ini, Senin. Menutup suasana gaduh, Pak Dhani masuk kelas sambil berkata, “Siapkan lembar jawaban kalian. Kita akan pemanasan hari ini.”

Semua siswa langsung diam dan duduk di tempat mereka masing-masing. Dengan perasaan membara, Sahl melirik ke arah Oase. “Ini saatnya balas dendam.” Ekspresi Sahl mengatakan itu. Meski tidak ada satu pun kata yang terucap, Oase bisa tahu kalau Sahl mengatakan itu dalam hatinya.

Sahl berdiri, dia kemudian berkata, “Pak, saya dan Oase izin pergi ke kamar mandi.” Dia mengatakan itu datar, seperti tidak sadar tentang skandal di balik ucapannya.

“Aku sedang tidak ingin ke kamar mandi ….” Oase yang tidak peka sosial juga abai. Dia tidak mengerti kalau ada beberapa hal yang harus dikoreksi dari kepolosannya.

Sahl semakin jadi, dia membuat salah paham seisi kelas dengan tindakannya. Dia bangun dari kursinya, mendekat ke meja di mana Oase dan Reki duduk. “Temani aku ke kamar mandi,” kata Sahl.

“Ha? Ada apa denganmu? Sudah kubilang aku tidak ingin ke kamar mandi.” Oase mulai ketus karena kesal dengan tindakan Sahl. Sementara saat ini, seisi kelas menyaksikan mereka dengan heran.

“Apakah mereka memang tidak mengerti tentang apa yang sedang mereka lakukan? Atau mereka memang memiliki hubungan itu saat ini?” Seisi kelas memikirkan hal yang sama.

Karena tidak mau ada jeda berlebihan. Pak Dhani mulai bicara, “Oase, temani saja Sahl. Segera kembali karena pemanasan kita akan segera dimulai.” Kali ini, yang memerintah Oase adalah seorang guru. Dia harus melakukannya dengan mengesampingkan apakah dia bersedia atau tidak. “Ba-baiklah,” jawab Oase sedikit malas. Lalu setelah itu, Oase dan Sahl pergi ke kamar mandi.

Seisi kelas melihat mereka. Termasuk ketika mereka jalan beriringan keluar kelas. “Serius, ini benar-benar gawat. Apakah mereka memiliki kecenderungan seperti itu?” Seisi kelas memikirkan hal yang sama.

Tapi yang lebih parah. Baik Sahl atau Oase, mereka berdua tidak sadar atau peka dengan sekitarnya. Mereka memang yang terburuk kalau soal memahami sekitar. Akhirnya, tanpa menyadari pikiran sekitar mereka, Oase dan Sahl pergi ke kamar mandi.

Selesai buang air kecil masing-masing. Oase dan Sahl mencuci tangan di wastafel, mereka menghadap kaca yang sama, posisinya bersampingan.

Memulai pembicaraan, Oase berkata, “Jadi, ada apa sampai mengajakku bicara berdua?” Sahl mematikan keran wastafel, dia kemudian menjawab, “Aku terkejut. Kenapa berpikir seperti itu?”

“Itu sudah jelas bukan? Kau sampai memaksa agar aku ikut menemanimu ke kamar mandi. Jujur saja itu aneh dan terkesan dipaksakan,” kata Oase menyelesaikan cuci tangannya dan menutup wastafel.

“Aku ketahuan ya. Baiklah, sekalian saja kalau begitu. Oase, dalam pre-test kali ini, mari kita bertaruh. Ini juga usahaku untuk balas dendam atas kekalahan di semester kemarin.” Kekalahan yang Sahl maksud adalah pre-test di semester satu. Termasuk pertandingan catur yang juga dimenangkan oleh Oase.

“Taruhan? Harusnya kau lakukan itu saat ujian akhir semester satu,” kata Oase menyanggah. Tapi, Sahl juga punya alasan. Dia menjabarkan alasan itu dengan berkata, “Soal pre-test buatan Pak Dhani 10 kali lebih sulit. Oh ya, apakah kau tahu, siapa pembuat soal UAS?” Kalimat Sahl diakhiri tanya.

Oase yang tidak tahu apa-apa hanya bisa menggeleng. Sahl memahami ketidaktahuannya dan berkata, “Soal UAS disusun oleh Tim Penyusun Soal. Kesulitannya masih disesuaikan dengan silabus atau materi SMP. Tapi, soal pre-test Pak Dhani berbeda. Itu adalah soal yang dibuat khusus dari ambisinya dan semangatnya. Kau sendiri sudah paham bukan? Kesulitannya bisa bersaing dengan soal kelas tiga SMA. Meski soalnya adalah materi SMP, belum tentu siswa SMA bisa mengerjakannya. Karena itu, ayo bertaruh.”

“Kau ini antusias sekali sih … lalu, kalau kau bilang taruhan. Apa yang kita pertaruhkan saat ini?” tanya Oase malas dan berharap kalau taruhannya tidak lebih sulit dari traktir makan siang. Sahl menjawab, “Kalau kau kalah, aku akan menyebarkan hubunganmu dan Nova. Setidaknya ke teman sekelas. Bahkan, teman sekelas lebih dari cukup.”

“Tidak masalah. Lagipula, cepat atau lambat. Nova akan selesai dari dispensasi. Kalau Nova kembali, dia pasti akan sangat antusias membicarakan ini. Itu sama sekali tidak merugikan bagiku.”

Sahl merasa kesal. Sadar kalau Oase sama sekali tidak dirugikan, Sahl sangat kesal. Dia berniat untuk mengganti taruhannya. “Kalau begitu, ganti ketentuan!” kata Sahl sedikit teriak karena kesal.

“Apa itu?”

“Kalau kau menang, silakan perintahkan aku apa saja di game VR MMO Dreamer. Lalu kalau aku menang, aku bebas memerintahkan dirimu apa saja di game VR MMO Dreamer. Sepakat?” kata Sahl yakin, tapi keringat dingin bercucuran di wajahnya.

Semua itu membuat Oase berpikir, “Tunggu, apakah dia hanya ingin main game bersamaku?”

Tapi dia terlalu malu untuk mengajakku main.

Jangan Lupa Follow Sosial Media Kami lewat tautan di bawah ini

Fanpage Anime

@rabbanime_

Info Web Novel

@wn_dreamer.idn

Author

@ini_bukan_oase

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai